A.
Pendahuluan
Berbicara soal tafsir atau ahli tafsir, terdapat banyak jumlahnya dan masing-masing menempuh
cara pilihannya sendiri. Mereka berusaha untuk mengetahui pemahaman sebuah ayat
dengan melalui riwayat atau dikenal dengan tafsīr bi al-ma’thūr. Kemudian setelah itu muncul metode
penafsiran yang dikenal dengan tafsīr bi al-ra’yi, sebuah metode yang
bersandarkan pada akal dan pemahaman seorang mufasir.[1].
Sedangkan pada tahap perkembangannya, tafsir diklasifikasikan menurut kecenderungan mufassir. Kecenderungan yang dimaksud antara lain; 1). Tafsir
ṣufī (sufistik) . 2). Tafsir falsafī
3). Tafsir ‘ilmī. 4). Tafsir fiqh. 5). Tafsir adabī ijtimā’ī.[2]
Sehubungan dengan perkembangan tafsir, al-Fārmawī menjelaskan terkait
lahirnya tafsir fikih. Bersamaan dengan lahirnya tafsīr al-ma’tsūr, lahirlah
tafsir fikih. Keduanya dinukil secara secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan.
Hal ini terjadi tatkala para sahabat menemukan kemuskilan dalam memahami
al-Qur’an, Nabi saw. lalu menjelaskan. Setelah Nabi saw. wafat, para sahabat
berijtihad menggali sendiri hukum-hukum syara’ dari al-Qur’an, hal ini terjadi
ketika para sahabat menghadapi permasalahan-permasalahan yang belum terjadi
pada masa Nabi saw.[3]
Demikian pula pada generasi sahabat. Pendapat-pendapat para sahabat dan para
tabi’in kebanyakan berkenaan dengan persoalan hukum. Pembukuan tafsir fikih ini
terjadi pada abad ke-2 H, tetapi – sejalan dengan perkembangan fikih sendiri –
tafsir dalam bentuk ini berkembang pesat setelah lahirnya mazhab-mazhab fikih.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, para ulama pengikut mazhab tertentu, terkadang menafsirkan ayat-ayat aḥkām (hukum) dalam al-Qur’an sesuai dengan teori istinbāṭ (penetapan) hukum yang berlaku di dalam
mazhabnya. Tidak jarang mereka menafsirkan ayat al-Qur’an untuk membenarkan
pandangan mazhab yang mereka anut dengan mencoba menyesuaikan al-Qur’an dengan
mazhab mereka sendiri.[5]
Tidak jarang terjadi oleh para mufassir ketika menafsirkan sebuah ayat
al-Qur’an tidak lepas dari pengaruh-pengaruh baik lingkungan, zaman atau
kondisi sosial, guru sehingga dipengaruhi oleh aliran pemikiran yang
berbeda-beda, ataupun mazhab yang dianut sehingga menjadi tolak ukur dalam
memutuskan sebuah pendapat ketika menafsirkan al-Qur’an.
Sehubungan dengan pengaruh kecenderungan mufassir, berikut beberapa contoh
mengenai hal tersebut, tidak lain adalah al-Jaṣṣāṣ, ia sangat fanatik terhadap mazhab Ḥanafī dalam membahas masalah-masalah fikih dan politik
khilafah. Ia juga mempunyai kesamaan pandangan dengan Syi’ah.[6]
Ibn al-‘Arabī, karena ia adalah salah seorang pengikut mazhab Imām Mālik, ia
sangat terpengaruh dengan mazhabnya dalam penafsirannya, sekaligus sangat
fanatik.[7]
Karena keterpengaruhan mazhab dalam proses menafsirkan ayat-ayat hukum
merupakan perkara yang perlu diambil perhatian, kerana ia melibatkan
permasalahan hukum dan perbedaan pendapat antara empat mazhab yang masyhur.[8]
Penulis memfokuskan penelitian ini terhadap tafsir ahkam, al-Jāmiʽ li Aḥkām al-Qur’ān karya Imām al-Qurṭubī. al-Qurṭubī adalah salah satu pengikut mazhab fikih
Imām Mālikī , Namun yang menjadi masalah
di sini adalah kebanyakan mufassir cenderung terhegemoni akan mazhabnya
sendiri. Penulis meneliti sosok al-Qurṭubī, dalam penafsirannya apakah ia terhegemoni mazhabnya
atau tidak? Sehingga fanatisme mazhab menjadikan akar keterpengaruhan terhadap
pola penafsirannya. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir
tersebut?
B.
Biografi Al-Qurtubi
1.
Masa
Kecil dan Kehidupan Intelektual
Menurut Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar
Azizy, nama al-Qurtubi dicantumkan dalam biografi mufassir, seperti kitab tabaqat al-Mufassirīn karya al-Suyutī merujuk pada 6 orang. Mereka adalah; Baqī
bin Makhlad bin Yazīd Abū ‘Abd al-Rahmān al-Andalusī al-Qurtubī
(201-276 H/816-889 M), ‘Abd al-Jalīl bin Mūsá bin ‘Abd al-Jalīl Abū Muhammad
al-Ansārī al-Andalusī al-Qurtubī (w. 608 H/1211 M), ‘Abd al-Rahmān
bin Marwān bin ‘Abd al-Rahmān al-Ansārī al-Qurtubī
(341-413 H/952-1022 M), Ubaydullāh bin Muhammad bin Mālik Abū Marwān
al-Qurtubī (340-400 H/ 951-1009 M), Abū ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad
al-Ansārī al-Mālikī al-Qurtubī (w. 671 H/1273 M), Muhammad
bin Umar bin Yūsuf al-Qurtubī (558-631 H/1162-1233 M).[9]
Tokoh tafsir al-Qurtubi yang dimaksud penulis adalah Abū ‘Abdillāh Muhammad
bin Ahmad al-Ansārī al-Mālikī al-Qurtubī (w. 671 H/1273
M).[10] Ia
adalah ulama yang terkenal di masanya dan setelahnya.[11]
Ia lahir pada tahun 580 H./1184 M. pada masa kekuasaan Bani Muwahhidūn,
di sebuah desa bernama Qurtubah di Cordova, Andalusi (sekarang
Spanyol). Di sanalah ia mempelajari bahasa Arab, syair, al-Qur’an al-Karim,
fikih, nahwu, qira’at,
ilmu balāghah, ‘ulūm al-Qur’ān, dan juga ilmu-ilmu lainnya.
Setelah itu, ia datang ke Mesir dan menetap di sana, al-Qurtubi berguru dengan
Ibn al-Jumayzī dan al-Hasan al-Bakrī.[12]
Sejak kecil, ia hidup dalam lingkungan
keluarga yang sederhana. Ayahnya adalah seorang petani yang sering sibuk di
ladang pertaniannya. Pertanian adalah bidang yang ditekuni ayahnya dan telah
menjadi bagian dari keseharian hidupnya yang selalu dijalaninya dengan penuh
senyuman. Kira-kira kurang lebih lima belas tahun, tepatnya pada tahun 580 H
sampai tahun 595 H, al-Qurtubī tumbuh besar bersama ayahnya.[13]
Setelah hijrah ke Mesir untuk mengembangkan intelektualnya dan di sana ia
meninggal dunia pada malam senin, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H.
Makamnya berada di al-Maniyā, di Timur sungai Nil dan berbagai kalangan sering
kali mengunjungi makamnya. Sehingga pada tahun 1971 M di sana dibangun sebuah
masjid yang diberi nama masjid al-Qurtubi.[14]
2.
Kondisi
Sosio-Kultur Andalusia
M. Abed al-Jabiri dalam Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Muâshirah menjelaskan
bahwa terdapat relasi yang signifikan pada titik tertentu antara suatu
konstruksi pemikiran dengan realitas sosial, sebagai respon dan dialektika
pemikiran terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di
masyarakat.[15]
Dengan kata lain, bahwa ada faktor eksternal yang mempengaruhi pemikiran
seseorang ketika memcetuskan sebuah pemikiran. Hal ini lah yang mungkin ada
dalam diri al-Qurtubi.
Andalusia – tempat kelahiran al-Qurtubi – Ketika berada di bawah kekuasan Romawi, wilayah ini
dikenal dengan nama Asbania. Pada abad ke-5 M, Andalusia dikuasai olah Bangsa Vandal yang
berasal dari wilayah ini sejak itu wilayah ini disebut Vandalusia.[16] Sejak Andalusia menjadi wilayah provinsi Islam
di bawah Bani Umayyah (yang berpusat di Damaskus), namanya pun diganti dengan
sebutan “Andalus”.[17]
Pada paruh pertama abad ke-11 M. hampir di setiap kota Andalusia terdapat
pemerintahan yang mandiri, di masa Khilafah Umawiyyah tumbang pada tahun 422
H/1031 M. Sejak itu Andalusia terpecah dan mencapai dua puluh raja kecil. Yang
paling terkenal di antara mereka adalah; Banū Zayrī penguasa Granada, Banū Hūd
di Saragosa, Banū ‘Ibād di Seville dan Cordoba, Banū Hamūd di Adarisah
dan yang terkuat adalah Banū Dhū al-Nūn yang menguasai Toledo, Valencia dan
Murcia. Kondisi terpecahnya Andalusia ini menjadikan rapuhnya pertahanan mereka
dari ancaman dari luar, hingga pada saat (tahun 483 H/1090 M) masuknya pasukan
baru dipimpin oleh Yūsuf bin Tāshifīn membawa pengikutnya yang dikenal dengan
kaum murābitūn. Masa kekuasaan murābitūn tidak
berlangsung lama karena pada tahun 524 H mereka diserang oleh pasukan al-muwahhidūn
di bawah pimpinan Muhammad ibn Tūmart (470-524 H/1078-1130 M).[18]
Dinasti muwahhidūn ini
bermula dari sebuah gerakan agama yang didirikan oleh seorang Barbar bernama Muhammad
ibn Tūmart dari suku Masmuda.[19]
Asalnya dia bukanlah seorang Barbar karena ia adalah keturunan keluarga ‘alawiyyīn
dari daerah Adarisah. Namun karena wilayah Adarisah dikuasai orang Barbar, maka
ia berperangai mengikuti orang Barbar. Ibn Tūmart menyandang gelar simbolis
al-Mahdi, dan menyatakan diri sebagai nabi yang diutus untuk memulihkan Islam
kepada bentuknya yang murni dan asli. Dia mengajarkan kepada para sukunya dan
suku-suku lainnya di Maroko doktrin tawhīd, ke-Esa-an Tuhan, dan konsep
spiritual tentang Tuhan. Langkah ini merupakan bentuk protes pada paham
antropomorfisme berlebihan yang telah menyebar di kalangan umat Islam. Karena
itulah para pengikutnya disebut al-Muwahhidūn (“Almohades” dalam bahasa Spanyol).[20]
Paruh kedua abad ke 13, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah
dinasti Bani Ahmār (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami
kemajuan seperti di zaman ‘Abd al-Rahmān al-Nasr. Akan tetapi, secara
politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang
merupakan pertahanan terakhir di Andalusia ini berakhir karena perselisihan
orang-orang istana dalam merebutkan kekuasaan. Abū ‘Abdullāh Muhammad
merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai
penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan.
Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad Ibn
Sa’ad. Abū ‘Abdullāh kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dari Aragon dan
Isabella dari Castille untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat
mengalahkan penguasa yang sah dan Abū ‘Abdullāh naik tahta.[21]
Pada babak terakhir, Andalusia hanya tinggal dua kerajaan yaitu Castille dan
Aragon. Perkawinan antara Raja Ferdinand dari Aragon dan Ratu Isabella dari
Castille pada 1469 telah mempersatukan dua kerajaan ini untuk merebut kekuasaan
terakhir umat Islam yang dipimpin Abū ‘Abdullāh. Penyatuan ini menjadi lonceng
kematian bagi kekuasaan Islam di Andalusia.[22]
Al-Qurtubī hidup pada masa generasi ketiga dinasti Muwahhidūn
yakni pada masa pemerintahan al-Mansūr Billāh Ya’qūb bin Yūsuf bin ‘Abd
al-Mu’min (berkuasa tahun 579-595 H/1184-1199 M). Secara umum, perhatian para
Khalifah Muwahhidūn di Spanyol adalah memerangi kaum Kristen, namun
keinginan itu gagal dicapai. Kekalahan telak mereka di Las Navas de Tolosa pada
14 Shafar 609 H/16 Juli 1212 M membuat mereka diusir dari semenanjung itu.
Tentara Kristen yang terdiri dari pasukan Aragon bersama rajanya ‘Ferdinand’,
pasukan Navarre beserta rajanya ‘Lnigo Arista’, dan satu unit pasukan elite
Portugal bersama beberapa kesatria, dipimpin oleh Alfonso VIII dari Castile
yang di antara laskarnya adalah Tentara Salib Prancis. Khalifah Muhammad al-Nāsr (595-610
H/1199-1214 M) putra al-Mansūr memimpin pasukan Arab. Dalam perang itu,
hanya 1000 pasukan Arab yang berhasil lolos dari sekitar 600.000 pasukan yang
berusaha melarikan diri. Al-Nāsr sendiri melarikan diri ke Maroko dan
meninggal di sana dua tahun kemudian.[23]
Kekalahan-kekalahan yang dialami oleh Muwahhidūn menyebabkan penguasanya
memilih untuk meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M.
Keadaan Andalusia kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil.
Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan
Kristen yang makin gencar. Tahun 1238 M Cordoba jatuh ke tangan penguasa
Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M dan seluruh Andalusia kecuali Granada
lepas dari kekuasaan Islam.[24]
Lonceng kematian Muslim Andalusia benar-benar berdentang keras. Pada awal
tahun 1501, dikeluarkan sebuah dekrit kerajaan yang berbunyi ‘semua kaum Muslim
di Castille dan Leon mesti memeluk agama Kristen, atau kalau tidak, mereka
meninggalkan Andalusia’. Pada tahun 1609 dikeluarkan perintah pengusiran oleh
Raja Philip III yang mengakibatkan deportasi besar-besaran semua kaum Muslim
Andalusia. Sekitar setengah juta kaum Muslim mesti merasakan nasib yang tragis.
Mereka mendarat di pantai-pantai Afrika atau bertulang menyeberangi lautan yang
jauh. Antara kejatuhan Granada pada 1492 sampai dekade pertama abad ke 17,
diperkirakan sekitar tiga juta orang Islam dibuang, atau dihukum mati.[25]
Data-data sejarah itu menujukkan bahwa masa hidup al-Qurtubi di Andalusia
dilingkupi dengan suasana sosial-politik yang penuh dengan hiruk-pikuk
peperangan. Baik peperangan karena perebutan kekuasaan intern Muslim antara
dinasti Murābitūn dan Muwahhidūn maupun perang antara kaum
Muslim dengan orang Kristen Andalusia.
Di Andalusia, aktifitas intelektual mengenai bidang filsafat, sains, fikih,
musik kesenian, bahasa dan sastra, ini sebelum masa dinasti Murābitūn
dan Muwahhidūn sudah marak berkembang. Philip K. Hitti menggambarkan
suasana itu dengan ungkapan bahwa mereka (Murābitūn dan Muwahhidūn)
memasuki Andalusia ketika aktivitas intelektual di antara orang Arab telah lama
menggantikan kegemaran akan perang dan penaklukan.[26]
Artinya, orang-orang Arab saat itu telah menjadi agen pengembangan intelektual
di Eropa. Suasana yang demikian ini, menurut Muhammad ‘Uthmān
sebagaimana dikutip oleh Mahmūd Zalat, pada dinasti Muwahhidūn
yang didirikan oleh Ibn Tūmart oleh pemuka agama (seorang yang ‘ālim di
zamannya) agar mengembangkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. “Sesuatu yang
paling agung, paling utama dan paling berharga dari apa yang dicari, disimpan
dan diamalkan adalah ilmu. Karena dengan ilmu Allah swt. menjadikannya sebagai
sebab adanya petunjuk atau hidayah kepada kebaikan.” Kutipan tersebut adalah
pernyataan Muhammad Ibn Tūmart yang cukup dapat menggambarkan kecintaan
pada ilmu pengetahuan.[27]
Pada masa dinasti Muwahhidūn ini berkembang pesat lembaga-lembaga
ilmiah baik di Maroko maupun Andalusia, terutama di kota-kota Cordoba, Granada
Valensia dan Murcia yang banyak didatangi oleh para mahasiswa dari berbagai
penjuru.[28]Ini
menunjukkan bahwa sejarah sosial dan politik Andalusia Islam yang mengharubiru
dan diwarnai dengan jatuh bangunnya dinasti satu dan dinasti lainnya, ternyata
bila dicermati lebih dalam, disela-selanya terdapat sejarah pertarungan
intelektual yang sangat idiologis.
Muhammad Ibrāhīm al-Hifnawī dalam pengantarnya, menggambarkan
bahwa kehidupan ilmiah di Andalusia pada masa al-Muwahhidūn (514-668 H)
berkembang sangat pesat. Masa tersebut merupakan masa yang di dalamnya al-Qurtubi
menjalani beberapa fase dari kehidupan ilmiahnya adalah:
a. Muhammad
bin Tūmart, pendiri Daulah al-Muwahhidīn (United State), merupakan salah
seorang ulama terkemuka pada masanya. Dia telah menyebarluaskan seruan untuk
mencari ilmu pengetahuan dan telah memberikan dorongan kepada rakyatnya untuk
memperoleh ilmu pengetahuan.
b. Banyak
buku-buku dan karya-karya tulis yang ada di Andalusia. Cordoba merupakan sebuah
negeri di Andalusia yang memiliki buku paling banyak serta penduduk paling
besar perhatiannya terhadap perbendaharaan buku. Suasana yang menjadi ciri khas
pemerintahan khalifah-khalifah dari dinasti al-Muwahhidūn ini, serta
banyaknya buku-buku dan karya-karya yang telah memenuhi negeri Andalusia pada
saat itu.
Dari sini, maka jumlah lembaga-lembaga
keilmuan yang muncul di Andalusia, baik di pusat kota maupun di daerah-daerah
sekitarnya pun semakin banyak. Sementara ilmu-ilmu agama seperti fikih, hadis,
tafsir, dan ilmu qira’at pun berkembang pesat. Sungguh semua itu sangat memberi
pengaruh besar terhadap proses pembentukan jiwa keilmuan dalam diri al-Qurtubi.
Setelah al-Qurtubi berpindah ke Mesir pada masa dinasti al-Ayyūbiyyīn, juga
tidak kalah majunya dengan kehidupan ilmiah di Andalusia pada masa dinasti
al-Muwahhidūn.[29]
Barangkali faktor yang menyebabkan semakin majunya gerakan ilmiah di Mesir
hampir sama, dengan faktor yang menyebabkan semakin majunya gerakan ilmiah di
Andalusia.[30]
Dalam kitab Tārikh Tashrī’ al-Islāmī karya Rashād Hasan
Khalīl mengatakan bahwa murid-murid Imām Mālik adalah Ashhāb bin ‘Abd al-‘Azīz
al-Qaisī, rujukan kaum Muslim di Mesir dalam bidang fikih dan Tunisia yang
wafat pada tahun 224 H. Selain itu, ada juga Abū al-Hasan al-Qurtubi,
yang belajar kitab al-Muwatta’ secara langsung kepada Imām Mālik dan menyebarkannya di Andalusia.[31]
Dari proses penyebaran inilah mayoritas menjadi mazhab resmi negara sekaligus
Imām al-Qurtubi yang menjadikan Mālikī sebagai mazhab yang dianutnya.
Adapun nama al-Mālikī merupakan nisbat kepada
mazhab yang dikuti oleh al-Qurtubi. Dalam bidang fikih, Andalusia Islam memang
dikenal sebagai panganut mazhab Mālikī. Yang memperkenalkan mazhab Mālikī di
sana; yaitu Ziyād bin ‘Abd al-Rahmān bin Shibtūn (w. 199 H/804 M)
dan al-Ghāzī bin Qais (w. 209 H/ 814 M). Perkembangan selanjutnya ditentukan
oleh faktor Yahyá bin Yahyá al-Laithī yang menjadi qādī
pada masa Hishām bin ‘Abd al-Rahmān yang juga memiliki semangat untuk
menyebarkan mazhab tersebut.[32]
Dari masa ke masa Mālikī selalu menjadi mazhab resmi Negara. Bahkan pada masa
kekuasaan al-Murābitūn – yang terdiri dari para mu’allaf yang
mewarasi tradisi Barbar yang belum punah – muncul ledakan gairah keagamaan
fanatik di awal abad ke-12 yang pada gilirannya merugikan kaum Kristen, Yahudi
bahkan kaum Muslim liberal. Di bawah kekuasaan ‘Alī yang Saleh (1106-1143 M),
putra sekaligus penerus Yūsuf bin Tāshifīn, karya-karya al-Ghazālī dimasukkan
dalam daftar hitam bahkan dibakar karena beberapa pandangannya dianggap
menghina para fāqīh termasuk mazhab Mālikī yang merupakan mazhab resmi
pemerintah Murābitūn.[33]
Kondisi lingkungan inilah terutama keluarga al-Qurtubi mengikuti mazhab Mālikī
yang memang didominasi oleh mazhab itu, karena dari faktor itu merupakan
pilihan yang secara sadar dilakukannya dengan mempertimbangkan aspek-aspek
keilmiahan.
3. Guru-guru dan
Murid-murid Al-Qurtubi
Menurut Ahmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá dalam kitab “al-Arā al-Usūliyyati
lī Imām al-Qurtubi min Khilāli Tafsīrihi”, ia mengatakan bahwa Imām al-Qurtubi
telah berguru kepada beberapa guru yang mereka hidup di dua negara yaitu di
Andalusia dan Mesir. Guru ia di Andalusia mereka adalah:[34]
a. Abū Ja’far Ahmad
bin Muhammad al-Qaisī yang dikenal dengan nama Ibn Abī Hujjah (w.
643 H/1245 M).
b. Rabīʽ bin ‘Abd
al-Rahmān bin Ahmad bin ‘Abd al-Rahmān ‘Ibn al-Rabīʽ
al-Ash’ārī (w. 633 H/1236 M).
c. Abū Hasan
bin ‘Alī bin ‘Abdullāh bin Muhammad bin Yūsuf al-Ansārī (w. 651
H/1253 M).
d. Abū ‘Amir Yahyá
bin ‘Abd al-Rahmān bin Ahmad bin Manīʽ al-Ash’arī (w. 638 H/1241
M).
Adapun beberapa guru yang ada di Mesir adalah:[35]
a. Rāshid al-Dīn
Abū Muhammad ‘Abd al-Wahhāb bin Rawāj bin Ẓāfir bin Futūh
al-Iskandarī al-Mālikī (w. 648 H/1250 M).
b. Bahāʽ al-Dīn
Abu al-Hasan ‘Alī bin Habatullāh bin Salāmah al-Lakhmī al-Misrī
al-Shāfi’ī (w. 649 H/1252 M).
c. Abū al-‘Abbās Ahmad
bin ‘Umar bin Ibrahīm al-Mālikī al-Qurtubi al-Ansarī (w. 656 H/1258 M).
d. Al-Hasan
bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Amrūk al-Taimī al-Naysāburī
al-Dimshaqī, atau dipanggil dengan nama Abū ‘Alī Sadr al-Dīn al-Bakrī
(w. 656 H/1258 M).
Terkait informasi tentang murid-murid al-Qurtubi,
tidak banyak sumber yang memberi penjelasan pasti. ‘Abd al-Qādīr al-Arnā’ut
dalam kata pengantar sebagai muhaqqīq salah satu karya al-Qurtubi
yang dikutip oleh Ahmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá juga menyatakan bahwa
sumber-sumber biografi al-Qurtubi tidak ada yang menyebutkan nama-nama murid
al-Qurtubi. Meskipun demikian, ia berkeyakinan bahwa pada masa hidup al-Qurtubi
banyak orang yang belajar dan menyerap ilmunya yang amat luas dan dalam. Al-Qurtubi
ibarat “ensiklopedi hidup” bagi orang-orang di zamannya.[36]
Salah satu sumber hanya menyebutkan bahwa orang yang meriwayatkan darinya
dengan ijazah adalah putranya yang bernama Shihāb al-Dīn Ahmad.[37]
Namun ada buku yang berjudul ‘Adamā’i al-Islām ‘Ibrun Arabā’at ‘Ishr Qarnan
min al-Zamān karya Shaikh Muhammad Sa’id Mursī yang sudah
diterjemahkan, menyebutkan tentang murid-murid al-Qurtubi adalah Shihāb al-Dīn
Abū Abbās dan Abū ‘Abdullāh Walī.[38]
4. Karya-karya Al-Qurtubi
Sudah tidak diragukan lagi bahwa al-Qurtubi adalah seorang ahli dalam
berbagai disiplin ilmu. Melihat perjuangannya yang tidak kenal lelah dengan
semangatnya yang tiada henti menjadikannya seorang sosok ulama besar yang
produktif dalam menghasilkan banyak tulisan. Menurut Muhammad Ibrāhīm
al-Hifnawī, dari karya-karya al-Qurtubi telah dijadikan rujukan oleh al-Hāfiẓ
Ibn Kathīr, Abū Hayyān al-Andalusī, al-Shawkanī dan sebagian besar umat Islam
seantero jagat raya ini.[39]
Adapun di antara karya-karya tulisnya adalah sebagai berikut:
1) Al-Tadhkirah fī
Ahwāl al-Mawtā wa Umūr al-Ākhirah.
2) Al-Asnā fī Sharh
al-Asmāʽ al-Husná.
3) Al-Tidhkār fī
Afdal al-Adhkār.
4) Al-Wajīz fī Fadā’il
al-Kitāb al-‘Azīz.
5) Al-I’lām Bimā fī
Dīn al-Nasārá Min al-Fasād wa al-Awhām wa Iẓhār Mahāsin Dīn al-Islām Wa
Ithbāt Nubuwwat Nabiyyinā Muhammad ‘Alayh al-Salāt wa al-Salam.
6) Qam’ al-Hirs
bi al-Zuhd wa al-Qanā’ah wa Rad Dhall al-Su’āl bi al-Kutub wa al-Shafā’ah.
7) Al-Jāmiʽ li Ahkām
al-Qur’ān.
8) Al-I’lām fī
Ma’rifat Mawlid al-Mustafá ‘Alaih al-Salāt wa al-Salām.
9) Al-Intihāz fī
Qirā’at Ahl al-Kūfah wa al-Basrah wa al-Shām wa Ahl al-Hijāz.
10) Manhāj al-‘Ibād
wa Mahijjat al-Sālikīn wa al-Zuhhād.
11) Al-Muqtabas fī
Sharh Muwattaʽ Malīk bin Anas.
C. Latar Belakang
Penulisan Al-Jāmi’ li Ahkām
Al-Qur’ān
Berangkat dari pencarian ilmu dari para ulama seperti Abū al-Abbās bin ‘Umar
al-Qurtubi Abū al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakrī,
kemudian Imām al-Qurtubi diasumsikan berhasrat besar untuk menyusun kitab
tafsir yang juga bernuansa fikih dengan menampilkan pendapat imam-imam mazhab
fikih dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah yang dibahas.
Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit sekali yang bernuansa fikih.
Karena itulah Imām al-Qurtubi menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah
masyarakat, karena di samping menemukan tafsir beliau juga akan mendapatkan
banyak pandangan imam mazhab fikih, hadis-hadis Rasulullah saw. maupun
pandangan para ulama mengenai masalah itu.[41]
Kitab tafsir ini sering disebut dengan tafsir
al-Qurtubi. Hal ini dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya seorang yang
mempunyai nisbah nama al-Qurtubi atau bisa juga karena dalam halaman sampul
kitabnya sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurtubi al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān.
Jadi, tidak sepenuhnya salah apabila seseorang menyebut tafsir ini dengan
sebutan tafsir al-Qurtubi bila yang dimaksud adalah tafsir karya al-Qurtubi
tersebut. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān
wa al-Mubayyīn limā Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqān yang berarti
kitab ini berisi himpunan hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan terhadap isi
kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur’an. Tergolong ke dalam salah
satu kitab tafsir yang sangat tebal, dengan rupa-rupa jilid. Ada yang sepuluh
jilid tebal, dan ada pula yang terdiri atas 22 jilid dengan jumlah halaman
sekitar 7.723. Pengarangnya adalah Abī ‘Abdillāh Muhammad al-Qurtubi,
salah seorang ulama yang sangat produktif di masanya.[42]
Dalam muqadimahnya sendiri penamaan kitab ini didahului dengan kalimat ‘Sammaituh’
(aku namakan “al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān wa al-Mubayyīn limā
Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqān”). Mudah-mudahan Allah swt.
menjadikan kitab ini sebagai sebuah amal yang ikhlas karena mengharapkan
keridhaan-Nya. Semoga Allah swt. memberikan manfaat kepadaku, kedua orangtuaku,
dan setiap orang yang menginginkan kitab ini. [43]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah asli dari
pengarangnya sendiri.
D.
Deskripsi Filologi
Secara filologis, tafsir al-Qurtubi yang penulis jadikan sample untuk penelitian
berjumlah 11 jilid, per jilid dibagi pembahasan surat-surat menjadi beberapa
bagian, yaitu:
1.
Jilid
pertama terdiri dari juz pertama dan kedua. Pembahasan mulai dari awal surat
al-Fatihah sampai surat al-Baqarah ayat 202.
2.
Jilid
kedua terdiri dari juz ketiga dan keempat. Pembahasan mulai dari ayat 202 surat
al-Baqarah sampai akhir surat ali Imran.
3.
Jilid
ketiga terdiri dari juz kelima dan keenam. Pembahasan mulai dari awal surat
al-Nisa’ sampai 57 surat al-An’am.
4.
Jilid
keempat terdiri dari juz ketujuh dan kedelapan. Pembahasan mulai dari ayat 57
surat al-An’am sampai akhir surat Yunus.
5.
Jilid
kelima terdiri dari juz kesembilan dan kesepuluh. Pembahasan mulai dari awal
surat Hûd sampai ayat 50 surat al-Kahfi.
6.
Jilid
keenam terdiri dari juz kesebelas dan kedua belas. Pembahasan mulai dari ayat
51 surat al-Kahfi sampai akhir surat al-Nur.
7.
Jilid
ketujuh terdiri dari juz ketiga belas dan keempat belas. Pembahasan mulai dari
awal surat al-Furqan sampai akhir surat Fatir.
8.
Jilid
kedelapan terdiri dari juz kelima belas dan keenam belas. Pembahasan mulai dari
awal surat Yasin sampai akhir surat al-Hujurat.
9.
Jilid
kesembilan terdiri dari juz ketujuh belas dan kedelapan belas. Pembahasan mulai
dari awal surat Qaf sampai akhir surat Nuh.
10.
Jilid
kesepuluh terdiri dari juz Sembilan belas dan kedua puluh. Pembahasan mulai
dari awal surat al-Jin sampai akhir surat al-Nas.
11.
Jilid
kesebelas berisi tentang fahâris. Terdiri dari Atraf al-Ahadits
al-Nabawiyyah wa al-Atsar, A’lam al-Rijal, Abna’ wa al-Kuna’,
A’lam al-Nisa, al-Qaba’il wa al-Syu’ub wa al-Jama’at, al-Adyân wa al-Tawâ’if wa al-Farq wa al-Madzâhib, al-Amâkin, Syawâhid al-Syi’ri wa al-Rujz.
Kitab tersebut mempunyai Cover berwarna dasar hitam dibalut
dengan warna hijau dan emas. Ketebalannya kurang lebih 4 cm, panjang 28 cm, dan
lebar 20 cm. kitab tersebut diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, di
kota Beirut, Lebanon pada tahun 1988 M. Secara umum, setiap halaman mempunyai
30 baris dan setiap jilid mempunyai halaman kurang lebih dua ratusan halaman.
E.
Telaah Metodologis
1.
Metode
Penafsiran
Ada dua istilah yang sering digunakan oleh Nasruddin Baidan yaitu:
metodologi tafsir dan metode tafsir. Dapat dibedakan antara dua istilah
tersebut, yakni: metode tafsir,[44]
yaitu cara-cara dan manhaj-manhaj yang dipakai untuk menafsirkan
al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut.
Nasruddin Baidan mendefinisikan metode sebagai seperangkat pedoman dan aturan
yang dipilih oleh seorang mufassir untuk melakukan pendekatan terhadap ayat-ayat
al-Qur’an demi tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.[45]
Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai
ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan
metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran
al-Qur’an.
Terkait metode yang dipergunakan oleh para mufassir, menurut al-Farmāwī,
dapat diklasifikasikan menjadi empat: pertama, metode tahlīlī, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an melalui pendeskripsian
(menguraikan) makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti
tata-tertib susunan atau urut-urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an yang
diikuti oleh sedikit-banyak analisis tentang kandungan ayat itu[46].
Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara
luas dari ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, metode ijmālī, yaitu ayat-ayat
al-Qur’an dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja. Ketiga
metode Muqāran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan apa
yang pernah ditulis oleh mufassir sebelumnya dengan cara membandingkannya.[47]
Keempat, metode Maudū’ī yaitu di mana
seorang mufassir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian
ditafsirkan.[48]
Dapat ditarik kesimpulan sebagaimana uraian di atas, bahwa tafsir al-Qurtubi
menggunakan metode tahlīlī karena al-Qurtubi
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf.
Pada sisi lain, metode ijmālī pun terkadang menjadi cara untuk
menafsirkan yang berarti secara ringkas dan dengan bahasa yang komunikatif.[49]Tafsir
al-Qurtubi juga bisa dikategorikan ke dalam tafsir yang memakai metode muqāran
ketika di dalamnya al-Qurtubi sering membanding-bandingkan antara pendapat
mufassir yang satu dengan pemikiran mufassir yang lain menyangkut hukum suatu
masalah.[50]
Tafsir al-Qurtubi
bisa juga disebut tafsir tahlīlī karena ia menggunakan corak uraian mendetail,[51] artinya, ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam
al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari
pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia
membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah,
bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min
(bacaan amin) dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab
tersebut memuat beberapa masalah.[52]
Adapun untuk penjelasan secara lebih mendetail
langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat
dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
a.
Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b.
Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut
sumbernya sebagai dalil.
c.
Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk
menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d.
Menolak pendapat yang dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
e.
Mendiskusikan pendapat ulaam dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurtubi ini masih
mungkin diperluas lagi dengan melakukan penelitian yang lebih seksama. Satu hal
yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan panjang lebar mengenai persoalan fiqhiyah
merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam tafsir ini.
2.
Jenis Penafsiran
Bila ditinjau dari jenisnya; tafsīr al-ma’tsūr dan tafsīr
al-ra’yi, tafsir
Al-Jâmi’ li Ahkam
al-Quran tersebut termasuk dalam tafsir
Al-Ra’yi. Yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran yang pola pemahamanya
dilakukan melalui ijtihad setelah seorang mufassir Al-Ra’yi mengetahui beberapa
syaratnya. Al-Ra’yi terlebih dahulu harus mencari makna ayat-ayat Al-Quran yang
terdapat dalam Al-Quran itu sendiri, lalu pada sunnah Nabi SAW, perbuatan para
sahabat dan tabi’in. jika tidak menjumpai dalil yang terdapat pada beberapa
sumber diatas, barulah seorang mufassir menggunakan kekuatan akal pikirannya
(ijtihad).
Dengan kata lain, mufassir yang bersangkutan tidak menafsirkan ayat-ayat pure
dengan akal melainkan didasari dengan kaidah-kaidah bahasa termasuk bantuan
dengan sya’ir-sya’ir jahiliyyah dan dibantu dengan konsep-konsep ‘ulūm
al-Qur’ān seperti nasīkh-mansūkh, sabāb al-nuzūl,
makiyah-madaniyah dan sebagainya. Juga tafsir al-Qurtubi adalah salah satu
tafsir yang paling banyak membahas persoalan-persoalan hukum fikih. Karena itu,
tafsirnya dikenal dengan sebagai tafsir yang bercorak fikih, karena di dalamnya
memuat banyak pembahasan ayat-ayat hukum dan pembahasan tentang perbedaan
pendapat mazhab-mazhab fikih.[53]
3.
Corak Penafsiran
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak
tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi
ijtima’i.[54]
Muḥammad ‘Alī Iyāzī memaparkan dalam karyanya al-Mufassirūn Ḥayatuhum wa Manhajuhum, bahwa tafsir al-Qurṭubī adalah salah satu tafsir yang paling
banyak membahas persoalan-persoalan hukum fikih. Karena itu, tafsirnya dikenal
sebagai tafsir yang bercorak fikih.[55], sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan
persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat
al-Fâtihah. al-Qurtubi mendiskusikan
persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah
ketika dibaca dalam salat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalat Jahr.
Terhadap ayat yang sama-sama dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara
sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas
surat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi
judul Bab Qiraah al-Fatihah fi al-shalah.
Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang
lebar mengenai persoalan-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas
ayat Qs. Al-Baqarah (2) : 43 :
.....وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'....” (al-Baqarah : 43)
Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah.
Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan
berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara
tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab
al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang
dianutnya, dengan pernyataannya:
إمامة الصغير
جائزة إذا كان قارئا
Artinya : (anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik).
Dan adapun diantara orang-orang yang sependapat dengan
pandapat al-Qurtubi bahwa membolehkan mengangkat anak kecil yang belum baligh
menjadi imam adalah Hasan Al-Bashri dan Ishaq Ibn Rahawaih.
Pendapat inipun dipilih oleh Ibnu al-Mundzir, jika anak kecil yang belum baligh
itu sudah dapat memahami shalat dan melaksanakannya, sebab ia termasuk ke dalam
sabda Rasulullah saw, dari Abu Bakar Al-Baraz meriwayatkan dengan sanad yang
hasan dari Abu Hurairah, dia berkata : Rasulullah SAW bersbda,”jika kalian
bepergian, maka hendaklah orang yang paling fasih bacaannya di antara kalian
mengimami kalian, meskipun dia adalah orang yang paling muda usianya diantara
kalian. Jika dia mengimami kalian, maka dialah pamimpin kalian.” Di sini,
Rasulullah tidak mengecualikan seorangpun.[56]
Begitu juga dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs.
Al-Baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ
لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ....
Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu...” (Qs. Al-Baqarah: 187)
Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang
hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban
mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya.
Dengan pernyataannya : إن من أكل أو
شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام
Artinya : “Sesungguhnya orang yang makan atau minum
karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya
adalah sempurna” [57]
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di
satu sisi menggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum
yang menjadiakan tafsir ini termasuk ke dalam jajaran
tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga
terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya
berpegang teguh dengan pendapat imam mazhabnya.[58]
4.
Madzhab Penafsir
a.
Madzhab
teologi
Al-Qurtubi,
secara umum bermadzhab teologi sunni, asumsi tersebut bisa dilihat ketika ia
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan wujud Allah. Sebagai contoh ketika
ia menafsirkan surat al-Fajr ayat 22. Ia mengatakan, bahwa Allah yang maha agung tidak boleh disifati dengan
perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil
Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat
dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang
terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk.[59]
b.
Madzhab
fiqh
Secara madzhab
fiqh, al-Qurtubi berpegang kepada madzhab Maliki, sesuai dengan penisbahan
namanya. Namun, ia tidak fanatik terhadap madzhab tersebut. sebagai contoh
ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 187. Pada pembahasan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang
hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban
mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya.
Terkadang pula ia berpegang kepada pendapat
Imam Malik, seperti ketika ia berpendapat bahwa wajib atas Imam dan Makmum
membaca surat al-Fatihah di setiap rakaat salat.[60]
5.
Sumber Penafsiran
Dalam menyusun al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān, al-Qurtubi banyak menggunakan sumber-sumber ilmu yang secara langsung
dipelajari dari para gurunya. Di samping al-Qurtubi juga menggunakan referensi
beberapa karya ulama terkait disiplin keilmuan. Dalam buku Membahas Kitab
Tafsir Klasik-Modern, karya Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy,
dijelaskan beberapa rujukan al-Qurtubi dalam menafsirkan tafsirnya. Mereka
mengklasifikasikan dalam dua kategori:
Pertama, sumber berupa kitab-kitab hadis seperti Sahīh al-Bukhārī, Sahīh Muslim, Sunan Abī Dawd, Sunan Ibn Mājah,
Musnad Imām Ahmad, Musnad
al-Darimī, Musnad al-Bazzār dan al-Muwattaʽ.
Kedua, sumber berupa tafsir antara lain; Jāmiʽal-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān karya al-Tabarī (310 H/923 M), I’rab al-Qur’ān
dan Ma’ānī al-Qur’ān karya al-Nuhhās (w.338 H/949 M), Ahkām al-Qur’ān karya al-Jassās (w. 370 H/980 M), al-Muharrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz karya Ibn ‘Atiyyah (w. 541 H/1146 M), Ma’alim al-Tanzīl
karya al-Baghāwī (w. 516 H/1122 M), Ahkām al-Qur’ān karya al-Kiyā al-Harasī (w. 504 H/1110 M), al-Kashshāf
‘An Haqā’iq al-Tanzīl karya al-Zamakhsharī (w. 538 H/1143), Ahkām al-Qur’ān karya Ibn al-‘Arabī (w. 543 H/1148 M).[61]
Pada sumber rujukan lain disebutkan pula yaitu Tafsīr al-Nuqās karya Ibn ‘Atiyyah, dan al-Tafsil al-Jāmiʽ li ‘Ulūm al-Tanzīl karya al-Mahdawī, guru Ibn ‘Atiyyah.[62]
F. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir
al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān
1.
Kelebihan
Tafsir al-Qurtubi disebut juga dengan ensiklopedi besar oleh sebagian kalangan
karena tafsir beliau banyak memuat tentang ilmu. diantara kelebihan yang
dimiliki oleh kitab tafsir al-Qurtubi ini ialah:
-
Memuat hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dengan pembahasan yang luas.
-
Hadis yang menjadi sandaran hokum dalam tafsirnya pada umumnya di takhrij
dan sampai kepada orang yang meriwayatkannya.
-
Al-Qurtubi berusaha agar tidak
menyebutkan dalam tafsirnya cerita-cerita israiliyat dan hadis maudhu’, tetapi
saying ada sejumlah kesalahan kecil ( dalam kaitannya dalam penyebutan cerita
israiliyat dan hadis maudhu’ ini) yang telah dilewatinya tanpa memberikan
komentar pun.
2.
Kekurangan
Meskipun kitab tafsir al-Qurtubi di termasuk salah satu kitab tafsir yang
memiliki banyak manfaat, namun hal itu tidak luput dari sejumlah kekurangan –
sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT— yang telah dilewatinya tanpa
ada suatu sanggahan apa pun. Diantaranya adalah ketika ia menjelaskan konsep
al-‘Arsy yang menggandung unsur isra’iliyat dalam surat Ghafir (40): 7
yang berbunyi:
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ
يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ
Artinya:
Malaikat-malaikat yang
memikul ‘arsy dan malaikat yang berada disekelilingnya bertasbih memuji
tuhannya
Al-Qurtubi menyebutkan bahwa kaki-kaki para maliakat yang pemikul ‘arsy itu
berada di bagian bumi paling bawah sementara kepala para malikat itu menembus
‘arsy. Tidak ada alasan yang pasti kenapa beliau menafsirkan ayat di atas
mengunakan israiliyat, namun yang pastinya itu merupakan variasi penafsiran
menurut kami, karena al-qurtubi dalam menafsirkan ayat pasti mempunyai tujuan
tersendiri. Contohnya ialah ketika ia menafsirkan arsy dari ayat yang lain:
قوله تعالى:
(ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) هذه مسألة الاستواء، وللعلماء فيها كلام وإجراء.
وقد بينا أقوال العلماء فيها في الكتاب (الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته
العلى) وذكرنا فيها هناك أربعة عشر قولا. والأكثر من المتقدمين والمتأخرين أنه إذا
وجب تنزيه الباري سبحانه عن الجهة والتحيز فمن ضرورة ذلك ولواحقه اللازمة عليه عند
عامة العلماء المتقدمين وقادتهم من المتأخرين تنزيهه تبارك وتعالى عن الجهة، فليس
بجهة فوق عندهم، لأنه يلزم من ذلك عندهم متى اختص بجهة أن يكون في مكان أو حيز،
ويلزم على المكان والحيز الحركة والسكون للمتحيز، والتغير والحدوث. هذا قول
المتكلمين. وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون
بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم
ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه
أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته.
Artinya:
Firman Allah: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) ini adalah masalah istiwa`. Para ulama mempunyai diskusi khusus dan uraian
panjang lebar tentang ini. Kami sudah menjelaskannya dalam kitab “Al Asnaa
fii syarh Asmaa` Allah Al Husna”, di sana kami menyebutkan ada empat belas
pendapat. Pendapat kebanyakan dari kalangan mutaqaddimin dan muta`akhkhirin
adalah bahwa Allah Allah harus dibersihkan dari arah dan penempatan ruang. Maka, semua konsekuensinya juga harus dihilangkan. Demikian pendapat para ulama mutaqaddimin dan para pentolan dari kalangan
mutaa`khkhirin. Yaitu, membersihkan Allah dari sifat arah, sehingga Allah tidak
berada di atas menurut mereka. Karena menurut mereka itu berkonsekuensi bahwa
Allah bertempat atau menempati ruang. Kalau sudah menempati ruang berarti harus
ada gerakan dan diam di tempat yang menaungi serta adanya perubahan dan hal-hal
baru (evolusi). Ini adalah pendapat ulama mutakallimin.
Akan tetapi salaf al awwal (ulama salaf generasi pertama) –semoga Allah
meridhai mereka- tidak pernah menafikan arah dan tidak pula membicarakannya.
Justru mereka semua menetapkan itu semua bagi Allah sebagaimana disebutkan
dalam kitab-Nya dan disampaikan oleh Rasul-Nya dan tidak ada seorangpun dari
kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam) di
atas arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan untuk itu karena dia
adalah makhluk Allah terbesar. Mereka hanya tidak tahu bagaimana kaifiyah
(bentuk) istiwa` (bersemayam) itu, karena hal tersebut tidak diketahui
bentuknya.”
Kemudian Al-Qurthubi juga berkata dalam kitabnya yang lain berjudul Al-Asna
fii syarh Asma`il Allah Al-Husna juz 2 hal. 132. setelah menyebutkan adanya empat belas pendapat tentang makna istiwa dia
berkata:
“Dan pendapat yang paling jelas adalah –meski aku tidak sependapat dan
tidak memilihnya- adalah pendapat yang berlandaskan ayat dan hadits yang banyak
bahwa Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Kitab dan
melalui lisan Nabi-Nya tanpa kaifiyah, terpisah dari semua makhluk-Nya. Ini adalah
pendapat semua ulama salaf shalih berdasarkan riwayat orang-orang terpercaya
sampai kepada mereka.”
Perhatikan dengan baik kata-kata al-Qurtubi di atas. Secara langsung
mengatakan bahwa penetapan Allah di atas ‘arsy itu hanya pendapat ulama salaf,
dan yang anehnya ia (al-Qurtubi) tidak menyepakati pendapat para ulama salaf di
atas tentang konsep arsy tu.
6.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, al-Qurtubi yang secara madzhab fiqh
menganut madzhab Maliki, ternyata tidak sepenuhnya mengikuti pendapat
madzhabnya. Artinya, ia tidak taken for granted menerima pendapat
madzhabnya tanpa melakukan tarjih. Ia pun terkadang melakukan beberapa istinbat,
dalam beberapa persoalan ia mengambil pendapat Madzhab al-Syafi’I, Hanafi dan Hanbali,
yang menurutnya sebagai pendapat yang terbaik. Sedangkan kelebihannya tafsir
al-Qurtubi ini merupakan tafsir yang fenomenal dalam hal mengupas masalah fiqh,
juga masalah qira’at, bahasa, dll. Namun, ia pun mempunyai kelemahan yaitu
terkadang menggunakan israiliyyat, dan tidak diteliti terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Azman dkk. Metode Ibn al-‘Arabī dalam
Kitab Tafsir “Ahkam al-Qur’an dan Hubungannya dengan Metode Penafsiran Masa
kini (Malaysia: Fakultas Syariah dan Undang-undang Universitas
Islam Malaysia, t,t.).
Adib, Shohibul dkk., Ulum al-Qur’an –
Profil Para Mufassir al-Qur’an dan Para Pengkajinya (Tangerang Selatan:
Pustaka Dunia, 2011), cet. I.
al-Arnā’ut, ‘Abd al-Qādir. “Muqadimah” dalam al-Qurtubī, al-Tidhkār
fī Afḍal al-Adhkār (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayan, 1392 H).
al-Dzahabī, Muhammad Husain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1994).
al-Fārmawī, ‘Abd al-Ḥayy. Metode Tafsir Maudhu’i, terj. Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka
Setia, 2002).
al-‘Ibadī, ‘Abd al-Hamīd . al-Mujmal fī Tārīkh al-Andalus
(Kairo: Dār al-Qalam, 1964).
al-‘Isá, AHmad ‘Isá Yūsuf. al-Arā al-Usūliyyatī li Imām
al-Qurtubī min Khilāli Tafsīrihi (Beirut Lebanon: Dār al-Kutub
al-‘Ismiyyah 2005).
al-Jabiri, M.
Abed. Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashirah (Beirut:Markaz Dirasah
al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989).
Al-Qasabī, MaHmūd Zalat .al-Qurtubī wa
Manhajuhu fī Tafsīr, (Kuwait: Dār al-Qalam, 1981).
Al-Qurṭubī, Abū ‘Abdillāh Muhammad .Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1988).
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi
Kitab tafsir. (Yogyakarta: Teras, 2004.)
Faizah Ali
Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim
dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2006).
Iyāzī, MuHammad ‘Alī. al-Mufassirūn Hayatuhum wa Manhājuhum
(Teheran: Mu’assasah al-Tibā’ah wa al-Nashr, 1414 H).
Izzan, Ahmad .Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur- Kelompok Humaniora,
2007), cet. I.
Khalīl, Rashād Hasan . Tārīkh Tashrī’ al-Islamī, terj.
Nadirsyah Hawari (Jakarta: Amzah, 2009).
Lubis, Ibrahim. ‘Aneka Ragam
Makalah – Islam di Andalusia,” artikel diakses pada 19 januari 2013
dari http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/islam-di-andalusia.html.
Ma’rifah, MuHammad Hādī. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn
fī Thaubīh al-Qashīb (Iran, al-Jāmi’ah al-Raḍuwīyyah li al-‘Ulūm al-Islamīyyah, 1426 H.),
Juz. II.
Mahmūd, Manī’ ‘Abd Halim. Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal Saleh dan
Syahdianor (Maktabah al-Aimān, 2003).
Mursī, MuHammad Sa’īd. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj. Khoirul Amru Harahab dan Achmad Faozan
(Kairo: Mu’assasah Iqrā’ 2003).
Mutaqin, Enjen Zaenal. “Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”, artikel diakses pada 23 september 2012 dari http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-jami-li-ahkam-al-quran.html
Saepudin, Didin .Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2007), cet. I.
Shihab, M. Quraish, dkk. Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam
(Jakarta: Rajawali Press, 2000), cet. 11.
Thomson, Ahmad .Islam Andalusia, terj. Kampung Kreasi (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004).
[1] Manī’ ‘Abd Halim Mahmūd, Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal
Saleh dan Syahdianor (Maktabah al-Aimān,
2003), h. vii-viii.
[2] ‘Abd al-Hayy al-Fārmawī, Metode Tafsir Maudhu’i, terj.
Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. I, h. 27-37.
[3] ‘Abd al-Hayy al-Fārmawī, Metode Tafsir Maudhu’i, h. 30.
[4] M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008), cet. IV, h. 179.
[6] Muhammad Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1994), h. 439.
[7] Manīʽ ‘Abd Halim Mahmūd, Manhāj al-Mufassirīn, h.
246.
[8] Azman Abdurrahman dan Zulkifli Hasan, Metode Ibn al-‘Arabī dalam Kitab
Tafsir “Ahkam al-Qur’an dan Hubungannya dengan Metode Penafsiran Masa kini
(Malaysia: Fakultas Syariah dan Undang-undang Universitas Islam Malaysia,
t,t.), h. 2.
[9]
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas
Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 19.
[10] MuHammad ‘Alī Iyāzī, al-Mufassirūn
Hayatuhum wa Manhājuhum (Teheran: Mu’assasah al-Tibā’ah wa
al-Nashr, 1414 H), h. 408.
[11] MuHammad Hādī Ma’rifah, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī Thaubīh
al-Qashīb (Iran, al-Jāmi’ah al-Raḍuwīyyah li al-‘Ulūm al-Islamīyyah, 1426 H.),
Juz. II, h. 768.
[12] Shohibul Adib, dkk., Ulum al-Qur’an
– Profil Para Mufassir al-Qur’an dan Para Pengkajinya (Tangerang Selatan:
Pustaka Dunia, 2011), cet. I, h. 75
[13] MuHammad ‘Alī Iyāzī, al-Mufassirūn
Hayatuhum..., h. 409.
[14] Al-Qasabī MaHmūd Zalat, al-Qurtubī wa
Manhajuhu fī Tafsīr, (Kuwait: Dār al-Qalam, 1981), h. 6 dan 30.
[15]
M. Abed
al-Jabiri, Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashirah (Beirut:Markaz
Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), h.13.
[16] Ibrahim Lubis, ‘Aneka Ragam Makalah
– Islam di Andalusia,” artikel diakses pada 19 januari 2013 dari http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/islam-di-andalusia.html
[18] ‘Abd al-Hamīd al-‘Ibadī, al-Mujmal fī Tārīkh al-Andalus
(Kairo: Dār al-Qalam, 1964), h. 154-155.
[19] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim
dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2006), h. 694.
[20] Philip K. Hitti, History, h. 694.
[23] Philip K. Hitti, History, h. 698.
[24] Badri Yatim, Sejarah, h. 99.
[25] Ahmad Thomson, Islam Andalusia, terj. Kampung Kreasi (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2004), h. 132.
[26] Philip K. Hitti, History, h. 693.
[27] Al-Qasabī MaHmūd Zalat, al-Qurtubī, h.
65.
[28] Al-Qasabī Mahmūd Zalat, al-Qurtubī, h.
10.
[29] Penulis belum menemukan sumber kapan al-Qurtubī mulai
hijrah ke Mesir.
[30] Al-Qurtubī, al-Jāmi’, Sebuah Pengantar oleh MuHaqīq
MuHammad Ibrāhīm al-Hifnawī, Juz. I, h. xvi-xvii.
[31] Rashād Hasan Khalīl, Tārīkh Tashrī’ al-Islamī, terj.
Nadirsyah Hawari (Jakarta: Amzah, 2009), h. 182.
[34] AHmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá, al-Arā al-Usūliyyatī li Imām
al-Qurtubī min Khilāli Tafsīrihi (Beirut Lebanon: Dār al-Kutub
al-‘Ismiyyah 2005), h. 31-32.
[35] AHmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá, al-Arā al-Usūliyyatī..., h.
32-34.
[36] ‘Abd al-Qādir al-Arnā’ut, “Muqadimah” dalam al-Qurtubī, al-Tidhkār
fī Afḍal al-Adhkār (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayan, 1392 H), h. 9-10.
[37] AHmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá, al-Arā al-Usūliyyatī...,
h. 33-34.
[38] Shaikh MuHammad Sa’īd Mursī, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah, terj. Khoirul Amru Harahab dan Achmad Faozan (Kairo: Mu’assasah
Iqrā’ 2003) cet. I, h.348.
[39] Al-Qurtubī, al-Jāmiʽ, Sebuah Pengantar oleh MuHaqīq
MuHammad Ibrāhīm al-Hifnawī, Juz. I, h. xx.
[41] Enjen Zaenal Mutaqin, “Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”, artikel diakses pada 23 september 2012 dari http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-jami-li-ahkam-al-quran.html
[42] Al-Qurtubi, al-Jāmiʽ, Juz. I, h. 3.
[43] Al- Qurtubi, al-Jāmiʽ, Juz. I, h.8. dan lihat
Ismail Nurdien ZA., “Makalah Tafsir Hadis – Tafsir al-Qurthubi,” artikel
diakses pada 23 september 2012 dari http://milaisma.blogspot.com/2009/12/tafsir-al-qurtubi-al-jami-li-ahkam-al.html
[44] Di dalam penafsiran al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan metode penafsiran, seperti: manhaj,
tariqah, ittijah, mazhab, dan allaunu. Dalam
al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, kata tariqah dan manhaj
mempunyai pengertian yang sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah
berarti arah, kecenderungan, orientasi, kata mazhab bermakna aliran, dan
kata laun bermakna corak, warna dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh: manhaj dan tariqah
adalah digunakan dalam metode taHlīlī, muqārin, ijmālī dan
mawḍū’ī. Sedangkan ittijah yang berarti arah atau kecenderungan dan
madzhab yang bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja
seorang ahli fikih cenderung menafsirkan ayat Qur’an ke arah fikih dan seorang
filosof menafsirkan Qur’an ke arah fisafat dan seterusnya. Allaunu yang
bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Seorang
mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna
tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam
menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna
menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang sufi akan menafsirkan ayat
al-Qur’an dengan corak tasawuf. Jadi dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen
seorang mufassir yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak
atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan menentukan corak atau warna
tafsirnya. Lihat Hujair A.H. Sanaky, “Metode Tafsir”, Jurnal Al-Mawarid
Edisi XVIII Tahun 2008, h. 267.
[46] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur- Kelompok
Humaniora, 2007), cet. I, h. 103.
[47] Perbandingan itu dapat berbentuk 1). Menafsirkan ayat-ayat yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dua kasus atau lebih, dan atau memiliki
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama; 2). Membandingkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan; 3).
Membandingkan dengan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat
al-Qur’an dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tema dan
subtansial yang sama. Lihat Abdul Hayy al-Farmāwī, Metode Tafsir
Maudhu’i, terj. Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. II, h.
39.
[48] Ismail Nurdien ZA., “Makalah Tafsir Hadis – Tafsir al-Qurthubi,” artikel
diakses pada 23 september 2012 dari http://milaisma.blogspot.com/2009/12/tafsir-al-qurtubi-al-jami-li-ahkam-al.html
[50] Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, 2001), cet. 1, h. 174.
[52] Dosen Tafsir Hadis Fak.
Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta: Teras, 2004.)
hal.69
[55] Muhammad ‘Alī Iyāzī, al-Mufassirūn Hayatuhum wa
Manhajuhum, h. 410.
[56] Abū ‘Abdillāh Muhammad Al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), Jilid 1, juz 1, h. 240-241
[58] Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta:
Teras, 2004.) hal 73
[60]
Abū ‘Abdillāh Muhammad Al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), Jilid 1, h. 83.
[62] Manīʽ ‘Abd Halim MaHmūd, Manhaj al-Mufassirīn, terj.
Faisal Saleh dan Syahdianor (Maktabah
al-Aimān, 2003), h. 283.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar