Sabtu, 21 Maret 2020

TAFSIR AL-JĀMIʽ LI AḤKĀM AL-QUR’ĀN KARYA IMĀM AL-QURṬUBĪ



A.    Pendahuluan
Berbicara soal tafsir atau ahli tafsir, terdapat banyak jumlahnya dan masing-masing menempuh cara pilihannya sendiri. Mereka berusaha untuk mengetahui pemahaman sebuah ayat dengan melalui riwayat atau dikenal dengan tafsīr bi al-ma’thūr. Kemudian setelah itu muncul metode penafsiran yang dikenal dengan tafsīr bi al-ra’yi, sebuah metode yang bersandarkan pada akal dan pemahaman seorang mufasir.[1].
Sedangkan pada tahap perkembangannya, tafsir diklasifikasikan menurut kecenderungan mufassir. Kecenderungan yang dimaksud antara lain; 1). Tafsir ufī (sufistik) . 2). Tafsir falsafī 3). Tafsir ‘ilmī. 4). Tafsir fiqh. 5). Tafsir adabī ijtimā’ī.[2]
Sehubungan dengan perkembangan tafsir, al-Fārmawī menjelaskan terkait lahirnya tafsir fikih. Bersamaan dengan lahirnya tafsīr al-ma’tsūr, lahirlah tafsir fikih. Keduanya dinukil secara secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan. Hal ini terjadi tatkala para sahabat menemukan kemuskilan dalam memahami al-Qur’an, Nabi saw. lalu menjelaskan. Setelah Nabi saw. wafat, para sahabat berijtihad menggali sendiri hukum-hukum syara’ dari al-Qur’an, hal ini terjadi ketika para sahabat menghadapi permasalahan-permasalahan yang belum terjadi pada masa Nabi saw.[3] Demikian pula pada generasi sahabat. Pendapat-pendapat para sahabat dan para tabi’in kebanyakan berkenaan dengan persoalan hukum. Pembukuan tafsir fikih ini terjadi pada abad ke-2 H, tetapi – sejalan dengan perkembangan fikih sendiri – tafsir dalam bentuk ini berkembang pesat setelah lahirnya mazhab-mazhab fikih.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, para ulama pengikut mazhab tertentu,  terkadang menafsirkan ayat-ayat akām (hukum) dalam al-Qur’an sesuai dengan teori istinbā (penetapan) hukum yang berlaku di dalam mazhabnya. Tidak jarang mereka menafsirkan ayat al-Qur’an untuk membenarkan pandangan mazhab yang mereka anut dengan mencoba menyesuaikan al-Qur’an dengan mazhab mereka sendiri.[5]
Tidak jarang terjadi oleh para mufassir ketika menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an tidak lepas dari pengaruh-pengaruh baik lingkungan, zaman atau kondisi sosial, guru sehingga dipengaruhi oleh aliran pemikiran yang berbeda-beda, ataupun mazhab yang dianut sehingga menjadi tolak ukur dalam memutuskan sebuah pendapat ketika menafsirkan al-Qur’an.
Sehubungan dengan pengaruh kecenderungan mufassir, berikut beberapa contoh mengenai hal tersebut, tidak lain adalah al-Jaṣṣā, ia sangat fanatik terhadap mazhab anafī dalam membahas masalah-masalah fikih dan politik khilafah. Ia juga mempunyai kesamaan pandangan dengan Syi’ah.[6] Ibn al-‘Arabī, karena ia adalah salah seorang pengikut mazhab Imām Mālik, ia sangat terpengaruh dengan mazhabnya dalam penafsirannya, sekaligus sangat fanatik.[7] Karena keterpengaruhan mazhab dalam proses menafsirkan ayat-ayat hukum merupakan perkara yang perlu diambil perhatian, kerana ia melibatkan permasalahan hukum dan perbedaan pendapat antara empat mazhab yang masyhur.[8]
Penulis memfokuskan penelitian ini terhadap tafsir ahkam, al-Jāmiʽ li Akām al-Qur’ān karya Imām al-Qurubī. al-Qurubī adalah salah satu pengikut mazhab fikih Imām Mālikī , Namun yang menjadi masalah  di sini adalah kebanyakan mufassir cenderung terhegemoni akan mazhabnya sendiri. Penulis meneliti sosok al-Qurubī, dalam penafsirannya apakah ia terhegemoni mazhabnya atau tidak? Sehingga fanatisme mazhab menjadikan akar keterpengaruhan terhadap pola penafsirannya. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir tersebut?

B.     Biografi Al-Qurtubi
1.      Masa Kecil dan Kehidupan Intelektual
Menurut Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, nama al-Qurtubi dicantumkan dalam biografi mufassir, seperti kitab tabaqat al-Mufassirīn karya al-Suyutī merujuk pada 6 orang. Mereka adalah; Baqī bin Makhlad bin Yazīd Abū ‘Abd al-Rahmān al-Andalusī al-Qurtubī (201-276 H/816-889 M), ‘Abd al-Jalīl bin Mūsá bin ‘Abd al-Jalīl Abū Muhammad al-Ansārī al-Andalusī al-Qurtubī (w. 608 H/1211 M), ‘Abd al-Rahmān bin Marwān bin ‘Abd al-Rahmān al-Ansārī al-Qurtubī (341-413 H/952-1022 M), Ubaydullāh bin Muhammad bin Mālik Abū Marwān al-Qurtubī (340-400 H/ 951-1009 M), Abū ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad al-Ansārī al-Mālikī al-Qurtubī (w. 671 H/1273 M), Muhammad bin Umar bin Yūsuf al-Qurtubī (558-631 H/1162-1233 M).[9]
Tokoh tafsir al-Qurtubi yang dimaksud penulis adalah Abū ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad al-Ansārī al-Mālikī al-Qurtubī (w. 671 H/1273 M).[10] Ia adalah ulama yang terkenal di masanya dan setelahnya.[11] Ia lahir pada tahun 580 H./1184 M. pada masa kekuasaan Bani Muwahhidūn, di sebuah desa bernama Qurtubah di Cordova, Andalusi (sekarang Spanyol). Di sanalah ia mempelajari bahasa Arab, syair, al-Qur’an al-Karim, fikih, nahwu, qira’at, ilmu balāghah, ‘ulūm al-Qur’ān, dan juga ilmu-ilmu lainnya. Setelah itu, ia datang ke Mesir dan menetap di sana, al-Qurtubi berguru dengan Ibn al-Jumayzī dan al-Hasan al-Bakrī.[12]

Sejak kecil, ia hidup dalam lingkungan keluarga yang sederhana. Ayahnya adalah seorang petani yang sering sibuk di ladang pertaniannya. Pertanian adalah bidang yang ditekuni ayahnya dan telah menjadi bagian dari keseharian hidupnya yang selalu dijalaninya dengan penuh senyuman. Kira-kira kurang lebih lima belas tahun, tepatnya pada tahun 580 H sampai tahun 595 H, al-Qurtubī tumbuh besar bersama ayahnya.[13] Setelah hijrah ke Mesir untuk mengembangkan intelektualnya dan di sana ia meninggal dunia pada malam senin, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. Makamnya berada di al-Maniyā, di Timur sungai Nil dan berbagai kalangan sering kali mengunjungi makamnya. Sehingga pada tahun 1971 M di sana dibangun sebuah masjid yang diberi nama masjid al-Qurtubi.[14]
2.      Kondisi Sosio-Kultur Andalusia
M. Abed al-Jabiri dalam Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Muâshirah menjelaskan bahwa terdapat relasi yang signifikan pada titik tertentu antara suatu konstruksi pemikiran dengan realitas sosial, sebagai respon dan dialektika pemikiran terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.[15] Dengan kata lain, bahwa ada faktor eksternal yang mempengaruhi pemikiran seseorang ketika memcetuskan sebuah pemikiran. Hal ini lah yang mungkin ada dalam diri al-Qurtubi.
Andalusia – tempat kelahiran al-Qurtubi – Ketika berada di bawah kekuasan Romawi, wilayah ini dikenal dengan nama Asbania. Pada abad ke-5 M, Andalusia dikuasai olah Bangsa Vandal yang berasal dari wilayah ini sejak itu wilayah ini disebut Vandalusia.[16] Sejak Andalusia menjadi wilayah provinsi Islam di bawah Bani Umayyah (yang berpusat di Damaskus), namanya pun diganti dengan sebutan “Andalus”.[17] Pada paruh pertama abad ke-11 M. hampir di setiap kota Andalusia terdapat pemerintahan yang mandiri, di masa Khilafah Umawiyyah tumbang pada tahun 422 H/1031 M. Sejak itu Andalusia terpecah dan mencapai dua puluh raja kecil. Yang paling terkenal di antara mereka adalah; Banū Zayrī penguasa Granada, Banū Hūd di Saragosa, Banū ‘Ibād di Seville dan Cordoba, Banū Hamūd di Adarisah dan yang terkuat adalah Banū Dhū al-Nūn yang menguasai Toledo, Valencia dan Murcia. Kondisi terpecahnya Andalusia ini menjadikan rapuhnya pertahanan mereka dari ancaman dari luar, hingga pada saat (tahun 483 H/1090 M) masuknya pasukan baru dipimpin oleh Yūsuf bin Tāshifīn membawa pengikutnya yang dikenal dengan kaum murābitūn. Masa kekuasaan murābitūn tidak berlangsung lama karena pada tahun 524 H mereka diserang oleh pasukan al-muwahhidūn di bawah pimpinan Muhammad ibn Tūmart (470-524 H/1078-1130 M).[18]
Dinasti muwahhidūn  ini bermula dari sebuah gerakan agama yang didirikan oleh seorang Barbar bernama Muhammad ibn Tūmart dari suku Masmuda.[19] Asalnya dia bukanlah seorang Barbar karena ia adalah keturunan keluarga ‘alawiyyīn dari daerah Adarisah. Namun karena wilayah Adarisah dikuasai orang Barbar, maka ia berperangai mengikuti orang Barbar. Ibn Tūmart menyandang gelar simbolis al-Mahdi, dan menyatakan diri sebagai nabi yang diutus untuk memulihkan Islam kepada bentuknya yang murni dan asli. Dia mengajarkan kepada para sukunya dan suku-suku lainnya di Maroko doktrin tawhīd, ke-Esa-an Tuhan, dan konsep spiritual tentang Tuhan. Langkah ini merupakan bentuk protes pada paham antropomorfisme berlebihan yang telah menyebar di kalangan umat Islam. Karena itulah para pengikutnya disebut al-Muwahhidūn (“Almohades” dalam bahasa Spanyol).[20]
Paruh kedua abad ke 13, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmār (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman ‘Abd al-Rahmān al-Nasr. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Andalusia ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam merebutkan kekuasaan. Abū ‘Abdullāh Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad Ibn Sa’ad. Abū ‘Abdullāh kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dari Aragon dan Isabella dari Castille untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abū ‘Abdullāh naik tahta.[21] Pada babak terakhir, Andalusia hanya tinggal dua kerajaan yaitu Castille dan Aragon. Perkawinan antara Raja Ferdinand dari Aragon dan Ratu Isabella dari Castille pada 1469 telah mempersatukan dua kerajaan ini untuk merebut kekuasaan terakhir umat Islam yang dipimpin Abū ‘Abdullāh. Penyatuan ini menjadi lonceng kematian bagi kekuasaan Islam di Andalusia.[22]
Al-Qurtubī hidup pada masa generasi ketiga dinasti Muwahhidūn yakni pada masa pemerintahan al-Mansūr Billāh Ya’qūb bin Yūsuf bin ‘Abd al-Mu’min (berkuasa tahun 579-595 H/1184-1199 M). Secara umum, perhatian para Khalifah Muwahhidūn di Spanyol adalah memerangi kaum Kristen, namun keinginan itu gagal dicapai. Kekalahan telak mereka di Las Navas de Tolosa pada 14 Shafar 609 H/16 Juli 1212 M membuat mereka diusir dari semenanjung itu. Tentara Kristen yang terdiri dari pasukan Aragon bersama rajanya ‘Ferdinand’, pasukan Navarre beserta rajanya ‘Lnigo Arista’, dan satu unit pasukan elite Portugal bersama beberapa kesatria, dipimpin oleh Alfonso VIII dari Castile yang di antara laskarnya adalah Tentara Salib Prancis. Khalifah Muhammad al-Nāsr (595-610 H/1199-1214 M) putra al-Mansūr memimpin pasukan Arab. Dalam perang itu, hanya 1000 pasukan Arab yang berhasil lolos dari sekitar 600.000 pasukan yang berusaha melarikan diri. Al-Nāsr sendiri melarikan diri ke Maroko dan meninggal di sana dua tahun kemudian.[23] Kekalahan-kekalahan yang dialami oleh Muwahhidūn menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. Keadaan Andalusia kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang makin gencar. Tahun 1238 M Cordoba jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M dan seluruh Andalusia kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[24]
Lonceng kematian Muslim Andalusia benar-benar berdentang keras. Pada awal tahun 1501, dikeluarkan sebuah dekrit kerajaan yang berbunyi ‘semua kaum Muslim di Castille dan Leon mesti memeluk agama Kristen, atau kalau tidak, mereka meninggalkan Andalusia’. Pada tahun 1609 dikeluarkan perintah pengusiran oleh Raja Philip III yang mengakibatkan deportasi besar-besaran semua kaum Muslim Andalusia. Sekitar setengah juta kaum Muslim mesti merasakan nasib yang tragis. Mereka mendarat di pantai-pantai Afrika atau bertulang menyeberangi lautan yang jauh. Antara kejatuhan Granada pada 1492 sampai dekade pertama abad ke 17, diperkirakan sekitar tiga juta orang Islam dibuang, atau dihukum mati.[25]
Data-data sejarah itu menujukkan bahwa masa hidup al-Qurtubi di Andalusia dilingkupi dengan suasana sosial-politik yang penuh dengan hiruk-pikuk peperangan. Baik peperangan karena perebutan kekuasaan intern Muslim antara dinasti Murābitūn dan Muwahhidūn maupun perang antara kaum Muslim dengan orang Kristen Andalusia.
Di Andalusia, aktifitas intelektual mengenai bidang filsafat, sains, fikih, musik kesenian, bahasa dan sastra, ini sebelum masa dinasti Murābitūn dan Muwahhidūn sudah marak berkembang. Philip K. Hitti menggambarkan suasana itu dengan ungkapan bahwa mereka (Murābitūn dan Muwahhidūn) memasuki Andalusia ketika aktivitas intelektual di antara orang Arab telah lama menggantikan kegemaran akan perang dan penaklukan.[26] Artinya, orang-orang Arab saat itu telah menjadi agen pengembangan intelektual di Eropa. Suasana yang demikian ini, menurut Muhammad ‘Uthmān sebagaimana dikutip oleh Mahmūd Zalat, pada dinasti Muwahhidūn yang didirikan oleh Ibn Tūmart oleh pemuka agama (seorang yang ‘ālim di zamannya) agar mengembangkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. “Sesuatu yang paling agung, paling utama dan paling berharga dari apa yang dicari, disimpan dan diamalkan adalah ilmu. Karena dengan ilmu Allah swt. menjadikannya sebagai sebab adanya petunjuk atau hidayah kepada kebaikan.” Kutipan tersebut adalah pernyataan Muhammad Ibn Tūmart yang cukup dapat menggambarkan kecintaan pada ilmu pengetahuan.[27]
Pada masa dinasti Muwahhidūn ini berkembang pesat lembaga-lembaga ilmiah baik di Maroko maupun Andalusia, terutama di kota-kota Cordoba, Granada Valensia dan Murcia yang banyak didatangi oleh para mahasiswa dari berbagai penjuru.[28]Ini menunjukkan bahwa sejarah sosial dan politik Andalusia Islam yang mengharubiru dan diwarnai dengan jatuh bangunnya dinasti satu dan dinasti lainnya, ternyata bila dicermati lebih dalam, disela-selanya terdapat sejarah pertarungan intelektual yang sangat idiologis.
Muhammad Ibrāhīm al-Hifnawī dalam pengantarnya, menggambarkan bahwa kehidupan ilmiah di Andalusia pada masa al-Muwahhidūn (514-668 H) berkembang sangat pesat. Masa tersebut merupakan masa yang di dalamnya al-Qurtubi menjalani beberapa fase dari kehidupan ilmiahnya adalah:
a.       Muhammad bin Tūmart, pendiri Daulah al-Muwahhidīn (United State), merupakan salah seorang ulama terkemuka pada masanya. Dia telah menyebarluaskan seruan untuk mencari ilmu pengetahuan dan telah memberikan dorongan kepada rakyatnya untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
b.      Banyak buku-buku dan karya-karya tulis yang ada di Andalusia. Cordoba merupakan sebuah negeri di Andalusia yang memiliki buku paling banyak serta penduduk paling besar perhatiannya terhadap perbendaharaan buku. Suasana yang menjadi ciri khas pemerintahan khalifah-khalifah dari dinasti al-Muwahhidūn ini, serta banyaknya buku-buku dan karya-karya yang telah memenuhi negeri Andalusia pada saat itu.
Dari sini, maka jumlah lembaga-lembaga keilmuan yang muncul di Andalusia, baik di pusat kota maupun di daerah-daerah sekitarnya pun semakin banyak. Sementara ilmu-ilmu agama seperti fikih, hadis, tafsir, dan ilmu qira’at pun berkembang pesat. Sungguh semua itu sangat memberi pengaruh besar terhadap proses pembentukan jiwa keilmuan dalam diri al-Qurtubi. Setelah al-Qurtubi berpindah ke Mesir pada masa dinasti al-Ayyūbiyyīn, juga tidak kalah majunya dengan kehidupan ilmiah di Andalusia pada masa dinasti al-Muwahhidūn.[29] Barangkali faktor yang menyebabkan semakin majunya gerakan ilmiah di Mesir hampir sama, dengan faktor yang menyebabkan semakin majunya gerakan ilmiah di Andalusia.[30]
Dalam kitab Tārikh Tashrī’ al-Islāmī karya Rashād Hasan Khalīl mengatakan bahwa murid-murid Imām Mālik adalah Ashhāb bin ‘Abd al-‘Azīz al-Qaisī, rujukan kaum Muslim di Mesir dalam bidang fikih dan Tunisia yang wafat pada tahun 224 H. Selain itu, ada juga Abū al-Hasan al-Qurtubi, yang belajar kitab al-Muwatta’ secara langsung kepada Imām Mālik dan menyebarkannya di Andalusia.[31] Dari proses penyebaran inilah mayoritas menjadi mazhab resmi negara sekaligus Imām al-Qurtubi yang menjadikan Mālikī sebagai mazhab yang dianutnya.
Adapun nama al-Mālikī merupakan nisbat kepada mazhab yang dikuti oleh al-Qurtubi. Dalam bidang fikih, Andalusia Islam memang dikenal sebagai panganut mazhab Mālikī. Yang memperkenalkan mazhab Mālikī di sana; yaitu Ziyād bin ‘Abd al-Rahmān bin Shibtūn (w. 199 H/804 M) dan al-Ghāzī bin Qais (w. 209 H/ 814 M). Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh faktor Yahyá bin Yahyá al-Laithī yang menjadi dī pada masa Hishām bin ‘Abd al-Rahmān yang juga memiliki semangat untuk menyebarkan mazhab tersebut.[32] Dari masa ke masa Mālikī selalu menjadi mazhab resmi Negara. Bahkan pada masa kekuasaan al-Murābitūn – yang terdiri dari para mu’allaf yang mewarasi tradisi Barbar yang belum punah – muncul ledakan gairah keagamaan fanatik di awal abad ke-12 yang pada gilirannya merugikan kaum Kristen, Yahudi bahkan kaum Muslim liberal. Di bawah kekuasaan ‘Alī yang Saleh (1106-1143 M), putra sekaligus penerus Yūsuf bin Tāshifīn, karya-karya al-Ghazālī dimasukkan dalam daftar hitam bahkan dibakar karena beberapa pandangannya dianggap menghina para fāqīh termasuk mazhab Mālikī yang merupakan mazhab resmi pemerintah Murābitūn.[33] Kondisi lingkungan inilah terutama keluarga al-Qurtubi mengikuti mazhab Mālikī yang memang didominasi oleh mazhab itu, karena dari faktor itu merupakan pilihan yang secara sadar dilakukannya dengan mempertimbangkan aspek-aspek keilmiahan.
3.      Guru-guru dan Murid-murid Al-Qurtubi
Menurut Ahmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá dalam kitab “al-Arā al-Usūliyyati lī Imām al-Qurtubi min Khilāli Tafsīrihi”, ia mengatakan bahwa Imām al-Qurtubi telah berguru kepada beberapa guru yang mereka hidup di dua negara yaitu di Andalusia dan Mesir. Guru ia di Andalusia mereka adalah:[34]
a.       Abū Ja’far Ahmad bin Muhammad al-Qaisī yang dikenal dengan nama Ibn Abī Hujjah (w. 643 H/1245 M).
b.      Rabīʽ bin ‘Abd al-Rahmān bin Ahmad bin ‘Abd al-Rahmān ‘Ibn al-Rabīʽ al-Ash’ārī (w. 633 H/1236 M).
c.       Abū Hasan bin ‘Alī bin ‘Abdullāh bin Muhammad bin Yūsuf al-Ansārī (w. 651 H/1253 M).
d.      Abū ‘Amir Yahyá bin ‘Abd al-Rahmān bin Ahmad bin Manīʽ al-Ash’arī (w. 638 H/1241 M).
Adapun beberapa guru yang ada di Mesir adalah:[35]
a.       Rāshid al-Dīn Abū Muhammad ‘Abd al-Wahhāb bin Rawāj bin Ẓāfir bin Futūh al-Iskandarī al-Mālikī (w. 648 H/1250 M).
b.      Bahāʽ al-Dīn Abu al-Hasan ‘Alī bin Habatullāh bin Salāmah al-Lakhmī al-Misrī al-Shāfi’ī (w. 649 H/1252 M).
c.       Abū al-‘Abbās Ahmad bin ‘Umar bin Ibrahīm al-Mālikī al-Qurtubi al-Ansarī (w. 656 H/1258 M).
d.      Al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Amrūk al-Taimī al-Naysāburī al-Dimshaqī, atau dipanggil dengan nama Abū ‘Alī Sadr al-Dīn al-Bakrī (w. 656 H/1258 M).
Terkait informasi tentang murid-murid al-Qurtubi, tidak banyak sumber yang memberi penjelasan pasti. ‘Abd al-Qādīr al-Arnā’ut dalam kata pengantar sebagai muhaqqīq salah satu karya al-Qurtubi yang dikutip oleh Ahmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá juga menyatakan bahwa sumber-sumber biografi al-Qurtubi tidak ada yang menyebutkan nama-nama murid al-Qurtubi. Meskipun demikian, ia berkeyakinan bahwa pada masa hidup al-Qurtubi banyak orang yang belajar dan menyerap ilmunya yang amat luas dan dalam. Al-Qurtubi ibarat “ensiklopedi hidup” bagi orang-orang di zamannya.[36] Salah satu sumber hanya menyebutkan bahwa orang yang meriwayatkan darinya dengan ijazah adalah putranya yang bernama Shihāb al-Dīn Ahmad.[37] Namun ada buku yang berjudul ‘Adamā’i al-Islām ‘Ibrun Arabā’at ‘Ishr Qarnan min al-Zamān karya Shaikh Muhammad Sa’id Mursī yang sudah diterjemahkan, menyebutkan tentang murid-murid al-Qurtubi adalah Shihāb al-Dīn Abū Abbās dan Abū ‘Abdullāh Walī.[38]
4.      Karya-karya Al-Qurtubi
Sudah tidak diragukan lagi bahwa al-Qurtubi adalah seorang ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Melihat perjuangannya yang tidak kenal lelah dengan semangatnya yang tiada henti menjadikannya seorang sosok ulama besar yang produktif dalam menghasilkan banyak tulisan. Menurut Muhammad Ibrāhīm al-Hifnawī, dari karya-karya al-Qurtubi telah dijadikan rujukan oleh al-Hāfiẓ Ibn Kathīr, Abū Hayyān al-Andalusī, al-Shawkanī dan sebagian besar umat Islam seantero jagat raya ini.[39] Adapun di antara karya-karya tulisnya adalah sebagai berikut:
1)      Al-Tadhkirah fī Ahwāl al-Mawtā wa Umūr al-Ākhirah.
2)      Al-Asnā fī Sharh al-Asmāʽ al-Husná.
3)      Al-Tidhkār fī Afdal al-Adhkār.
4)      Al-Wajīz fī Fadā’il al-Kitāb al-‘Azīz.
5)      Al-I’lām Bimā fī Dīn al-Nasārá Min al-Fasād wa al-Awhām wa Iẓhār Mahāsin Dīn al-Islām Wa Ithbāt Nubuwwat Nabiyyinā Muhammad ‘Alayh al-Salāt wa al-Salam.
6)      Qam’ al-Hirs bi al-Zuhd wa al-Qanā’ah wa Rad Dhall al-Su’āl bi al-Kutub wa al-Shafā’ah.
7)      Al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān.
8)      Al-I’lām fī Ma’rifat Mawlid al-Mustafá ‘Alaih al-Salāt wa al-Salām.
9)      Al-Intihāz fī Qirā’at Ahl al-Kūfah wa al-Basrah wa al-Shām wa Ahl al-Hijāz.
10)  Manhāj al-‘Ibād wa Mahijjat al-Sālikīn wa al-Zuhhād.
11)  Al-Muqtabas fī Sharh Muwattaʽ Malīk bin Anas.
12)  Al-Lumaʽ al-Lu’lu’iyyah fī Sharh al-‘Ishrīnāt al-Nabawiyyah.[40]

C.    Latar Belakang Penulisan Al-Jāmi li Ahkām Al-Qur’ān
Berangkat dari pencarian ilmu dari para ulama seperti Abū al-Abbās bin ‘Umar al-Qurtubi Abū al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakrī, kemudian Imām al-Qurtubi diasumsikan berhasrat besar untuk menyusun kitab tafsir yang juga bernuansa fikih dengan menampilkan pendapat imam-imam mazhab fikih dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit sekali yang bernuansa fikih. Karena itulah Imām al-Qurtubi menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena di samping menemukan tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam mazhab fikih, hadis-hadis Rasulullah saw. maupun pandangan para ulama mengenai masalah itu.[41]
Kitab tafsir ini sering disebut dengan tafsir al-Qurtubi. Hal ini dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya seorang yang mempunyai nisbah nama al-Qurtubi atau bisa juga karena dalam halaman sampul kitabnya sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurtubi al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān. Jadi, tidak sepenuhnya salah apabila seseorang menyebut tafsir ini dengan sebutan tafsir al-Qurtubi bila yang dimaksud adalah tafsir karya al-Qurtubi tersebut. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān wa al-Mubayyīn limā Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqān yang berarti kitab ini berisi himpunan hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur’an. Tergolong ke dalam salah satu kitab tafsir yang sangat tebal, dengan rupa-rupa jilid. Ada yang sepuluh jilid tebal, dan ada pula yang terdiri atas 22 jilid dengan jumlah halaman sekitar 7.723. Pengarangnya adalah Abī ‘Abdillāh Muhammad al-Qurtubi, salah seorang ulama yang sangat produktif di masanya.[42] Dalam muqadimahnya sendiri penamaan kitab ini didahului dengan kalimat ‘Sammaituh’ (aku namakan “al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān wa al-Mubayyīn limā Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqān”). Mudah-mudahan Allah swt. menjadikan kitab ini sebagai sebuah amal yang ikhlas karena mengharapkan keridhaan-Nya. Semoga Allah swt. memberikan manfaat kepadaku, kedua orangtuaku, dan setiap orang yang menginginkan kitab ini. [43] Dengan demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah asli dari pengarangnya sendiri.
D.    Deskripsi Filologi
Secara filologis, tafsir al-Qurtubi yang penulis  jadikan sample untuk penelitian berjumlah 11 jilid, per jilid   dibagi pembahasan surat-surat menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.      Jilid pertama terdiri dari juz pertama dan kedua. Pembahasan mulai dari awal surat al-Fatihah sampai surat al-Baqarah ayat 202.
2.      Jilid kedua terdiri dari juz ketiga dan keempat. Pembahasan mulai dari ayat 202 surat al-Baqarah sampai akhir surat ali Imran.
3.      Jilid ketiga terdiri dari juz kelima dan keenam. Pembahasan mulai dari awal surat al-Nisa’ sampai 57 surat al-An’am.
4.      Jilid keempat terdiri dari juz ketujuh dan kedelapan. Pembahasan mulai dari ayat 57 surat al-An’am sampai akhir surat Yunus.
5.      Jilid kelima terdiri dari juz kesembilan dan kesepuluh. Pembahasan mulai dari awal surat Hûd sampai ayat 50 surat al-Kahfi.
6.      Jilid keenam terdiri dari juz kesebelas dan kedua belas. Pembahasan mulai dari ayat 51 surat al-Kahfi sampai akhir surat al-Nur.
7.      Jilid ketujuh terdiri dari juz ketiga belas dan keempat belas. Pembahasan mulai dari awal surat al-Furqan sampai akhir surat Fatir.
8.      Jilid kedelapan terdiri dari juz kelima belas dan keenam belas. Pembahasan mulai dari awal surat Yasin sampai akhir surat al-Hujurat.
9.      Jilid kesembilan terdiri dari juz ketujuh belas dan kedelapan belas. Pembahasan mulai dari awal surat Qaf sampai akhir surat Nuh.
10.  Jilid kesepuluh terdiri dari juz Sembilan belas dan kedua puluh. Pembahasan mulai dari awal surat al-Jin sampai akhir surat al-Nas.
11.  Jilid kesebelas berisi tentang  fahâris. Terdiri dari Atraf al-Ahadits al-Nabawiyyah wa al-Atsar, A’lam al-Rijal, Abna’ wa al-Kuna’, A’lam al-Nisa, al-Qaba’il wa al-Syu’ub wa al-Jama’at, al-Adyân wa al-Tawâ’if wa al-Farq wa al-Madzâhib, al-Amâkin, Syawâhid al-Syi’ri wa al-Rujz.
Kitab tersebut mempunyai Cover berwarna dasar hitam dibalut dengan warna hijau dan emas. Ketebalannya kurang lebih 4 cm, panjang 28 cm, dan lebar 20 cm. kitab tersebut diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, di kota Beirut, Lebanon pada tahun 1988 M. Secara umum, setiap halaman mempunyai 30 baris dan setiap jilid mempunyai halaman kurang lebih dua ratusan halaman.

E.     Telaah Metodologis
1.      Metode Penafsiran
Ada dua istilah yang sering digunakan oleh Nasruddin Baidan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Dapat dibedakan antara dua istilah tersebut, yakni: metode tafsir,[44] yaitu cara-cara dan manhaj-manhaj yang dipakai untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut. Nasruddin Baidan mendefinisikan metode sebagai seperangkat pedoman dan aturan yang dipilih oleh seorang mufassir untuk melakukan pendekatan terhadap ayat-ayat al-Qur’an demi tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.[45] Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Qur’an.
Terkait metode yang dipergunakan oleh para mufassir, menurut al-Farmāwī, dapat diklasifikasikan menjadi empat: pertama, metode tahlīlī, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an melalui pendeskripsian (menguraikan) makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti tata-tertib susunan atau urut-urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an yang diikuti oleh sedikit-banyak analisis tentang kandungan ayat itu[46]. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, metode ijmālī, yaitu ayat-ayat al-Qur’an dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja. Ketiga metode Muqāran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh mufassir sebelumnya dengan cara membandingkannya.[47] Keempat, metode Maudū’ī yaitu di mana seorang mufassir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.[48]
Dapat ditarik kesimpulan sebagaimana uraian di atas, bahwa tafsir al-Qurtubi menggunakan metode tahlīlī karena al-Qurtubi menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf. Pada sisi lain, metode ijmālī pun terkadang menjadi cara untuk menafsirkan yang berarti secara ringkas dan dengan bahasa yang komunikatif.[49]Tafsir al-Qurtubi juga bisa dikategorikan ke dalam tafsir yang memakai metode muqāran ketika di dalamnya al-Qurtubi sering membanding-bandingkan antara pendapat mufassir yang satu dengan pemikiran mufassir yang lain menyangkut hukum suatu masalah.[50]
Tafsir al-Qurtubi bisa juga disebut tafsir tahlīlī karena ia menggunakan corak uraian mendetail,[51] artinya, ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min (bacaan amin) dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.[52]
Adapun untuk penjelasan secara lebih mendetail langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
a.       Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b.      Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c.       Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d.       Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
e.       Mendiskusikan pendapat ulaam dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurtubi ini masih mungkin diperluas lagi dengan melakukan penelitian yang lebih seksama. Satu hal yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan panjang lebar mengenai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam tafsir ini.

2.      Jenis Penafsiran
Bila ditinjau dari jenisnya; tafsīr al-ma’tsūr dan tafsīr al-ra’yi, tafsir Al-Jâmi’ li Ahkam al-Quran tersebut termasuk dalam tafsir Al-Ra’yi. Yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran yang pola pemahamanya dilakukan melalui ijtihad setelah seorang mufassir Al-Ra’yi mengetahui beberapa syaratnya. Al-Ra’yi terlebih dahulu harus mencari makna ayat-ayat Al-Quran yang terdapat dalam Al-Quran itu sendiri, lalu pada sunnah Nabi SAW, perbuatan para sahabat dan tabi’in. jika tidak menjumpai dalil yang terdapat pada beberapa sumber diatas, barulah seorang mufassir menggunakan kekuatan akal pikirannya (ijtihad).
 Dengan kata lain,  mufassir  yang bersangkutan tidak menafsirkan ayat-ayat pure dengan akal melainkan didasari dengan kaidah-kaidah bahasa termasuk bantuan dengan sya’ir-sya’ir jahiliyyah dan dibantu dengan konsep-konsep ‘ulūm al-Qur’ān seperti nasīkh-mansūkh, sabāb al-nuzūl, makiyah-madaniyah dan sebagainya. Juga tafsir al-Qurtubi adalah salah satu tafsir yang paling banyak membahas persoalan-persoalan hukum fikih. Karena itu, tafsirnya dikenal dengan sebagai tafsir yang bercorak fikih, karena di dalamnya memuat banyak pembahasan ayat-ayat hukum dan pembahasan tentang perbedaan pendapat mazhab-mazhab fikih.[53]
3.      Corak Penafsiran
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i.[54] Muammad ‘Alī Iyāzī memaparkan dalam karyanya al-Mufassirūn ayatuhum wa Manhajuhum, bahwa tafsir al-Qurubī adalah salah satu tafsir yang paling banyak membahas persoalan-persoalan hukum fikih. Karena itu, tafsirnya dikenal sebagai tafsir yang bercorak fikih.[55], sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Fâtihah. al-Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam salat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalat Jahr. Terhadap ayat yang sama-sama dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab Qiraah al-Fatihah fi al-shalah.
Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalan-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2) : 43 :
.....وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'....” (al-Baqarah : 43)
Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:
إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
Artinya : (anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik).
Dan adapun diantara orang-orang yang sependapat dengan pandapat al-Qurtubi bahwa membolehkan mengangkat anak kecil yang belum baligh menjadi imam adalah Hasan Al-Bashri dan Ishaq Ibn Rahawaih. Pendapat inipun dipilih oleh Ibnu al-Mundzir, jika anak kecil yang belum baligh itu sudah dapat memahami shalat dan melaksanakannya, sebab ia termasuk ke dalam sabda Rasulullah saw, dari Abu Bakar Al-Baraz meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairah, dia berkata : Rasulullah SAW bersbda,”jika kalian bepergian, maka hendaklah orang yang paling fasih bacaannya di antara kalian mengimami kalian, meskipun dia adalah orang yang paling muda usianya diantara kalian. Jika dia mengimami kalian, maka dialah pamimpin kalian.” Di sini, Rasulullah tidak mengecualikan seorangpun.[56]

Begitu juga dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ....
Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu...” (Qs. Al-Baqarah: 187)
Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya.
Dengan pernyataannya : إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام
Artinya : “Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna” [57]
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadiakan tafsir ini termasuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam mazhabnya.[58]

4.      Madzhab Penafsir
a.       Madzhab teologi
Al-Qurtubi, secara umum bermadzhab teologi sunni, asumsi tersebut bisa dilihat ketika ia menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan wujud Allah. Sebagai contoh ketika ia menafsirkan surat al-Fajr ayat 22. Ia mengatakan, bahwa Allah yang maha agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk.[59]

b.      Madzhab fiqh
Secara madzhab fiqh, al-Qurtubi berpegang kepada madzhab Maliki, sesuai dengan penisbahan namanya. Namun, ia tidak fanatik terhadap madzhab tersebut. sebagai contoh ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 187. Pada pembahasan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya.
Terkadang pula ia berpegang kepada pendapat Imam Malik, seperti ketika ia berpendapat bahwa wajib atas Imam dan Makmum membaca surat al-Fatihah di setiap rakaat salat.[60]



5.      Sumber Penafsiran
Dalam menyusun al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān, al-Qurtubi banyak menggunakan sumber-sumber ilmu yang secara langsung dipelajari dari para gurunya. Di samping al-Qurtubi juga menggunakan referensi beberapa karya ulama terkait disiplin keilmuan. Dalam buku Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, karya Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, dijelaskan beberapa rujukan al-Qurtubi dalam menafsirkan tafsirnya. Mereka mengklasifikasikan dalam dua kategori:
Pertama, sumber berupa kitab-kitab hadis seperti Sahīh al-Bukhārī, Sahīh Muslim, Sunan Abī Dawd, Sunan Ibn Mājah, Musnad Imām Ahmad, Musnad al-Darimī, Musnad al-Bazzār dan al-Muwattaʽ.
Kedua, sumber berupa tafsir antara lain; Jāmiʽal-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān karya al-Tabarī (310 H/923 M), I’rab al-Qur’ān dan Ma’ānī al-Qur’ān karya al-Nuhhās (w.338 H/949 M), Ahkām al-Qur’ān karya al-Jassās (w. 370 H/980 M), al-Muharrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz karya Ibn ‘Atiyyah (w. 541 H/1146 M), Ma’alim al-Tanzīl karya al-Baghāwī (w. 516 H/1122 M), Ahkām al-Qur’ān karya al-Kiyā al-Harasī (w. 504 H/1110 M), al-Kashshāf ‘An Haqā’iq al-Tanzīl karya al-Zamakhsharī (w. 538 H/1143), Ahkām al-Qur’ān karya Ibn al-‘Arabī (w. 543 H/1148 M).[61] Pada sumber rujukan lain disebutkan pula yaitu Tafsīr al-Nuqās karya Ibn ‘Atiyyah, dan al-Tafsil al-Jāmiʽ li ‘Ulūm al-Tanzīl karya al-Mahdawī, guru Ibn ‘Atiyyah.[62]
F.  Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir al-Jāmiʽ li Ahkām al-Qur’ān
1.    Kelebihan
            Tafsir al-Qurtubi disebut juga dengan ensiklopedi besar oleh sebagian kalangan karena tafsir beliau banyak memuat tentang ilmu. diantara kelebihan yang dimiliki oleh kitab tafsir al-Qurtubi ini ialah:
-          Memuat hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dengan pembahasan yang luas.
-          Hadis yang menjadi sandaran hokum dalam tafsirnya pada umumnya di takhrij dan sampai kepada orang yang meriwayatkannya.
-           Al-Qurtubi berusaha agar tidak menyebutkan dalam tafsirnya cerita-cerita israiliyat dan hadis maudhu’, tetapi saying ada sejumlah kesalahan kecil ( dalam kaitannya dalam penyebutan cerita israiliyat dan hadis maudhu’ ini) yang telah dilewatinya tanpa memberikan komentar pun.

2.    Kekurangan
            Meskipun kitab tafsir al-Qurtubi di termasuk salah satu kitab tafsir yang memiliki banyak manfaat, namun hal itu tidak luput dari sejumlah kekurangan – sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT— yang telah dilewatinya tanpa ada suatu sanggahan apa pun. Diantaranya adalah ketika ia menjelaskan konsep al-‘Arsy yang menggandung unsur  isra’iliyat dalam surat Ghafir (40): 7 yang berbunyi:
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ

Artinya:
Malaikat-malaikat yang memikul ‘arsy dan malaikat yang berada disekelilingnya bertasbih memuji tuhannya
            Al-Qurtubi menyebutkan bahwa kaki-kaki para maliakat yang pemikul ‘arsy itu berada di bagian bumi paling bawah sementara kepala para malikat itu menembus ‘arsy. Tidak ada alasan yang pasti kenapa beliau menafsirkan ayat di atas mengunakan israiliyat, namun yang pastinya itu merupakan variasi penafsiran menurut kami, karena al-qurtubi dalam menafsirkan ayat pasti mempunyai tujuan tersendiri. Contohnya ialah ketika ia menafsirkan arsy dari ayat yang lain:
قوله تعالى: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) هذه مسألة الاستواء، وللعلماء فيها كلام وإجراء. وقد بينا أقوال العلماء فيها في الكتاب (الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته العلى) وذكرنا فيها هناك أربعة عشر قولا. والأكثر من المتقدمين والمتأخرين أنه إذا وجب تنزيه الباري سبحانه عن الجهة والتحيز فمن ضرورة ذلك ولواحقه اللازمة عليه عند عامة العلماء المتقدمين وقادتهم من المتأخرين تنزيهه تبارك وتعالى عن الجهة، فليس بجهة فوق عندهم، لأنه يلزم من ذلك عندهم متى اختص بجهة أن يكون في مكان أو حيز، ويلزم على المكان والحيز الحركة والسكون للمتحيز، والتغير والحدوث. هذا قول المتكلمين. وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته.

Artinya: 
Firman Allah: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) ini adalah masalah istiwa`. Para ulama mempunyai diskusi khusus dan uraian panjang lebar tentang ini. Kami sudah menjelaskannya dalam kitab “Al Asnaa fii syarh Asmaa` Allah Al Husna”, di sana kami menyebutkan ada empat belas pendapat. Pendapat kebanyakan dari kalangan mutaqaddimin dan muta`akhkhirin adalah bahwa Allah Allah harus dibersihkan dari arah dan penempatan ruang. Maka, semua konsekuensinya juga harus dihilangkan. Demikian pendapat para ulama mutaqaddimin dan para pentolan dari kalangan mutaa`khkhirin. Yaitu, membersihkan Allah dari sifat arah, sehingga Allah tidak berada di atas menurut mereka. Karena menurut mereka itu berkonsekuensi bahwa Allah bertempat atau menempati ruang. Kalau sudah menempati ruang berarti harus ada gerakan dan diam di tempat yang menaungi serta adanya perubahan dan hal-hal baru (evolusi). Ini adalah pendapat ulama mutakallimin.
            Akan tetapi salaf al awwal (ulama salaf generasi pertama) –semoga Allah meridhai mereka- tidak pernah menafikan arah dan tidak pula membicarakannya. Justru mereka semua menetapkan itu semua bagi Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan disampaikan oleh Rasul-Nya dan tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan untuk itu karena dia adalah makhluk Allah terbesar. Mereka hanya tidak tahu bagaimana kaifiyah (bentuk) istiwa` (bersemayam) itu, karena hal tersebut tidak diketahui bentuknya.”
Kemudian Al-Qurthubi juga berkata dalam kitabnya yang lain berjudul Al-Asna fii syarh Asma`il Allah Al-Husna juz 2 hal. 132. setelah menyebutkan adanya empat belas pendapat tentang makna istiwa dia berkata:
“Dan pendapat yang paling jelas adalah –meski aku tidak sependapat dan tidak memilihnya- adalah pendapat yang berlandaskan ayat dan hadits yang banyak bahwa Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Kitab dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa kaifiyah, terpisah dari semua makhluk-Nya. Ini adalah pendapat semua ulama salaf shalih berdasarkan riwayat orang-orang terpercaya sampai kepada mereka.”
            Perhatikan dengan baik kata-kata al-Qurtubi di atas. Secara langsung mengatakan bahwa penetapan Allah di atas ‘arsy itu hanya pendapat ulama salaf, dan yang anehnya ia (al-Qurtubi) tidak menyepakati pendapat para ulama salaf di atas tentang konsep arsy tu.

6.      Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, al-Qurtubi yang secara madzhab fiqh menganut madzhab Maliki, ternyata tidak sepenuhnya mengikuti pendapat madzhabnya. Artinya, ia tidak taken for granted menerima pendapat madzhabnya tanpa melakukan tarjih. Ia pun terkadang melakukan beberapa istinbat, dalam beberapa persoalan ia mengambil pendapat Madzhab al-Syafi’I, Hanafi dan Hanbali, yang menurutnya sebagai pendapat yang terbaik. Sedangkan kelebihannya tafsir al-Qurtubi ini merupakan tafsir yang fenomenal dalam hal mengupas masalah fiqh, juga masalah qira’at, bahasa, dll. Namun, ia pun mempunyai kelemahan yaitu terkadang menggunakan israiliyyat, dan tidak diteliti terlebih dahulu.


           









DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Azman dkk. Metode Ibn al-‘Arabī dalam Kitab Tafsir “Ahkam al-Qur’an dan Hubungannya dengan Metode Penafsiran Masa kini (Malaysia: Fakultas Syariah dan Undang-undang Universitas Islam Malaysia, t,t.).
Adib, Shohibul dkk., Ulum al-Qur’an – Profil Para Mufassir al-Qur’an dan Para Pengkajinya (Tangerang Selatan: Pustaka Dunia, 2011), cet. I.
al-Arnā’ut, ‘Abd al-Qādir. “Muqadimah” dalam al-Qurtubī, al-Tidhkār fī Afal al-Adhkār (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayan, 1392 H).
al-Dzahabī, Muhammad Husain.  al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Maktabah Wahbah, 1994).
al-Fārmawī, ‘Abd al-ayy. Metode Tafsir Maudhu’i, terj. Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002).
al-‘Ibadī, ‘Abd al-Hamīd . al-Mujmal fī Tārīkh al-Andalus (Kairo: Dār al-Qalam, 1964).
al-‘Isá, AHmad ‘Isá Yūsuf. al-Arā al-Usūliyyatī li Imām al-Qurtubī min Khilāli Tafsīrihi (Beirut Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ismiyyah 2005).
al-Jabiri, M. Abed. Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashirah (Beirut:Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989).
Al-Qasabī, MaHmūd Zalat .al-Qurtubī wa Manhajuhu fī Tafsīr, (Kuwait: Dār al-Qalam, 1981).
Al-Qurubī, Abū ‘Abdillāh Muhammad .Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988).
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta: Teras, 2004.)
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2006).
Iyāzī, MuHammad ‘Alī.  al-Mufassirūn Hayatuhum wa Manhājuhum (Teheran: Mu’assasah al-Tibā’ah wa al-Nashr, 1414 H).
Izzan, Ahmad .Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur- Kelompok Humaniora, 2007), cet. I.
Khalīl, Rashād Hasan . Tārīkh Tashrī’ al-Islamī, terj. Nadirsyah Hawari (Jakarta: Amzah, 2009).
Lubis, Ibrahim. ‘Aneka Ragam  Makalah – Islam di Andalusia,” artikel diakses pada 19 januari 2013 dari  http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/islam-di-andalusia.html.
Ma’rifah, MuHammad Hādī. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī Thaubīh al-Qashīb (Iran, al-Jāmi’ah al-Rauwīyyah li al-‘Ulūm al-Islamīyyah, 1426 H.), Juz. II.
Mahmūd, Manī ‘Abd Halim. Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal Saleh dan Syahdianor  (Maktabah al-Aimān, 2003).
Mursī, MuHammad Sa’īd. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj. Khoirul Amru Harahab dan Achmad Faozan (Kairo: Mu’assasah Iqrā’ 2003).
Mutaqin, Enjen Zaenal. “Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”,  artikel diakses pada 23 september 2012 dari http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-jami-li-ahkam-al-quran.html
Saepudin, Didin .Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2007), cet. I.
Shihab, M. Quraish, dkk. Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2000), cet. 11.
Thomson, Ahmad .Islam Andalusia, terj. Kampung Kreasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004).







[1] Manī ‘Abd Halim Mahmūd, Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal Saleh dan Syahdianor  (Maktabah al-Aimān, 2003), h. vii-viii.
[2] ‘Abd al-Hayy al-Fārmawī, Metode Tafsir Maudhu’i, terj. Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. I, h. 27-37.
[3] ‘Abd al-Hayy al-Fārmawī, Metode Tafsir Maudhu’i, h. 30.
[4] M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IV, h. 179.
[5] M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, h. 180.
[6] Muhammad Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Maktabah Wahbah, 1994), h. 439.
[7] Manīʽ ‘Abd Halim Mahmūd, Manhāj al-Mufassirīn, h. 246.
[8] Azman Abdurrahman dan Zulkifli Hasan, Metode Ibn al-‘Arabī dalam Kitab Tafsir “Ahkam al-Qur’an dan Hubungannya dengan Metode Penafsiran Masa kini (Malaysia: Fakultas Syariah dan Undang-undang Universitas Islam Malaysia, t,t.), h. 2.
[9] Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 19.
[10] MuHammad ‘Alī Iyāzī, al-Mufassirūn Hayatuhum wa Manhājuhum (Teheran: Mu’assasah al-Tibā’ah wa al-Nashr, 1414 H), h. 408.
[11] MuHammad Hādī Ma’rifah, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī Thaubīh al-Qashīb (Iran, al-Jāmi’ah al-Raḍuwīyyah li al-‘Ulūm al-Islamīyyah, 1426 H.), Juz. II, h. 768.
[12] Shohibul Adib, dkk., Ulum al-Qur’an – Profil Para Mufassir al-Qur’an dan Para Pengkajinya (Tangerang Selatan: Pustaka Dunia, 2011), cet. I, h. 75
[13] MuHammad ‘Alī Iyāzī, al-Mufassirūn Hayatuhum..., h. 409.
[14] Al-Qasabī MaHmūd Zalat, al-Qurtubī wa Manhajuhu fī Tafsīr, (Kuwait: Dār al-Qalam, 1981), h. 6 dan 30.
[15] M. Abed al-Jabiri, Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashirah (Beirut:Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), h.13.
[16] Ibrahim Lubis, ‘Aneka Ragam  Makalah – Islam di Andalusia,” artikel diakses pada 19 januari 2013 dari  http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/islam-di-andalusia.html
[17] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2007), cet. I, h. 100.
[18] ‘Abd al-Hamīd al-‘Ibadī, al-Mujmal fī Tārīkh al-Andalus (Kairo: Dār al-Qalam, 1964), h. 154-155.
[19] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2006), h. 694.
[20] Philip K. Hitti, History, h. 694.
[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2000), cet. 11, h. 99.
[22] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, h. 109.
[23] Philip K. Hitti, History, h. 698.
[24] Badri Yatim, Sejarah, h. 99.
[25] Ahmad Thomson, Islam Andalusia, terj. Kampung Kreasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004),  h. 132.
[26] Philip K. Hitti, History, h. 693.
[27] Al-Qasabī MaHmūd Zalat, al-Qurtubī, h. 65.
[28] Al-Qasabī Mahmūd Zalat, al-Qurtubī, h. 10.
[29] Penulis belum menemukan sumber kapan al-Qurtubī mulai hijrah ke Mesir.
[30] Al-Qurtubī, al-Jāmi’, Sebuah Pengantar oleh MuHaqīq MuHammad Ibrāhīm al-Hifnawī, Juz. I, h. xvi-xvii.
[31] Rashād Hasan Khalīl, Tārīkh Tashrī’ al-Islamī, terj. Nadirsyah Hawari (Jakarta: Amzah, 2009), h. 182.
[32] Badri Yatim, Sejarah, h. 102-103.
[33] Philip K. Hitti, History, h. 690.
[34] AHmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá, al-Arā al-Usūliyyatī li Imām al-Qurtubī min Khilāli Tafsīrihi (Beirut Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ismiyyah 2005), h. 31-32.
[35] AHmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá, al-Arā al-Usūliyyatī..., h. 32-34.
[36] ‘Abd al-Qādir al-Arnā’ut, “Muqadimah” dalam al-Qurtubī, al-Tidhkār fī Afḍal al-Adhkār (Damaskus: Maktabah Dār al-Bayan, 1392 H), h. 9-10.
[37] AHmad ‘Isá Yūsuf al-‘Isá, al-Arā al-Usūliyyatī..., h.  33-34.
[38] Shaikh MuHammad Sa’īd Mursī, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj. Khoirul Amru Harahab dan Achmad Faozan (Kairo: Mu’assasah Iqrā’ 2003) cet. I, h.348.
[39] Al-Qurtubī, al-Jāmiʽ, Sebuah Pengantar oleh MuHaqīq MuHammad Ibrāhīm al-Hifnawī, Juz. I, h. xx.
[40] Shohibul Adib, dkk., ed., Ulum al-Qur’an..., h. 76-77.
[41] Enjen Zaenal Mutaqin, “Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”,  artikel diakses pada 23 september 2012 dari http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-jami-li-ahkam-al-quran.html
[42] Al-Qurtubi, al-Jāmiʽ, Juz. I, h. 3.
[43] Al- Qurtubi, al-Jāmiʽ, Juz. I, h.8. dan lihat Ismail Nurdien ZA., “Makalah Tafsir Hadis – Tafsir al-Qurthubi,” artikel diakses pada 23 september 2012 dari http://milaisma.blogspot.com/2009/12/tafsir-al-qurtubi-al-jami-li-ahkam-al.html
[44] Di dalam penafsiran al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang  terkait dengan metode penafsiran, seperti: manhaj, tariqah, ittijah, mazhab, dan allaunu. Dalam al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, kata tariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti arah, kecenderungan, orientasi, kata mazhab bermakna aliran, dan kata laun bermakna corak, warna dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh: manhaj dan tariqah adalah digunakan dalam metode taHlīlī, muqārin, ijmālī dan mawḍū’ī. Sedangkan ittijah yang berarti arah atau kecenderungan dan madzhab yang bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja seorang ahli fikih cenderung menafsirkan ayat Qur’an ke arah fikih dan seorang filosof menafsirkan Qur’an ke arah fisafat dan seterusnya. Allaunu yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang sufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawuf. Jadi dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya. Lihat Hujair A.H. Sanaky, “Metode Tafsir, Jurnal Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008, h. 267.
[45] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 2.
[46] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur- Kelompok Humaniora, 2007), cet. I, h. 103.
[47] Perbandingan itu dapat berbentuk 1). Menafsirkan ayat-ayat yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama; 2). Membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan; 3). Membandingkan dengan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tema dan subtansial yang sama. Lihat Abdul Hayy al-Farmāwī, Metode Tafsir Maudhu’i, terj. Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. II, h. 39.
[48] Ismail Nurdien ZA., “Makalah Tafsir Hadis – Tafsir al-Qurthubi,” artikel diakses pada 23 september 2012 dari http://milaisma.blogspot.com/2009/12/tafsir-al-qurtubi-al-jami-li-ahkam-al.html
[49] Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 26.
[50] Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2001), cet. 1, h. 174.
[51] Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 27.
[52] Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta: Teras, 2004.) hal.69

[53] MuHammad ‘Alī ‘Iyāzī, al-Mufassirūn Hayatuhum..., h. 409.
[54] ‘Abd al-Hayy al-Fārmawī, Metode Tafsir Maudhu’i, terj. Rosihon Anwar , cet. I, h. 27-37.
[55] Muhammad ‘Alī Iyāzī, al-Mufassirūn Hayatuhum wa Manhajuhum, h. 410.
[56] Abū ‘Abdillāh Muhammad Al-Qurubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), Jilid 1, juz 1, h. 240-241
[57] Abū ‘Abdillāh Muhammad Al-Qurubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, Jilid 1, juz 2,  h. 215
[58] Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta: Teras, 2004.) hal 73
[60] Abū ‘Abdillāh Muhammad Al-Qurubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), Jilid 1, h. 83.
[61] Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 36-37.
[62] Manīʽ ‘Abd Halim MaHmūd, Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal Saleh dan Syahdianor  (Maktabah al-Aimān, 2003), h. 283.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar