Senin, 17 Oktober 2011

Maurice Bucaille


MAURICE BUCAILLE

I.         Sekilas Biografi Mauriche Bucaille.
            Maurice Bucaille lahir pada tanggal 19 Juli 1920 M di Pont-L'Eveque, dan meninggal di Prancis pada 17 Februari 1998 M, ia meninggal pada usia 77 tahun. Ia  putra Maurice dan Marie (James) Bucaille,  ia adalah seorang dokter Perancis anggota, medis Perhimpunan Perancis Mesir Kuno, dan penulis. Bucaille praktek kedokteran dari tahun 1945-1982 M dan merupakan spesialis dalam gastroenterologi.Pada tahun 1973, Bucaille diangkat dokter keluarga Raja Faisal dari Arab Saudi. Pasien lain pada waktu itu termasuk anggota dari keluarga kemudian Presiden Mesir, Anwar Sadat.[1]
Pada tahun 1974 dia mengunjungi Mesir atas undangan Presiden Anwar Sadat dan mendapat kesempatan meneliti Mumi Firaun yang ada di museum Kairo. Hasil penelitiannya kemudian dia terbitkan dengan judul Mumi Firaun; Sebuah Penelitian Medis Modern atau judul aslinya , Les momies des Pharaons et la médecine. Berkat buku ini, dia menerima penghargaan Le prix Diane-Potier-Boès (penghargaan dalam sejarah) dari Académie française dan Prix general (Penghargaan umum) dari Academie nationale de medicine, Perancis.[2]Salah satu kontroversi yang masih menyelimuti keberadaannya adalah tentang statusnya saat dia meninggal, apakah dia sudah menjadi seorang Muslim, atau tetap pada kepercayaannya yang lama.Tidak ada bukti langsung yang dapat menjelaskan kontoversi ini, sedangkan bukti-bukti yang ada umumnya sudah terdistorsi oleh pandangan pribadi para penulisnya.[3]
II.      Motivasi Dr. Maurice Bucaille terhadap Al-Qur’an
Motivasi Bucaille dalam mempelajari dan meyelidiki al-Qur’an tidak lain hanya sebatas kepentingan keilmuan saja. Sebagaimana pernyataannya dalam bukunya The Bible, The Quran,and The Science. Ia mengatakan:”Saya menyelidiki keserasian teks Al-Qur’an dengan sains modern secara objektif dan tanpa prasangka. Mula-mula, saya mengerti, dengan membaca terjemahan, bahwa Alquran menyebutkan bermacam-macam fenomena alamiah, tetapi dengan membaca terjemahan itu saya hanya memperoleh pengetahuan yang  samar (ringkas). Dengan membaca teks Arab secara teliti sekali saya dapat mengadakan inventarisasi yang membuktikan bahwa Alquran tidak mengandung sesuatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiah di zaman  modern ini.[4]
       Namun Ada yang menuduh bahwa pernyataan-pernyataannya yang menguntungkan al-Qur’an itu hanya bertujuan supaya bukunya laku di kalangan muslim dan dia mendapat dana dari timur tengah.[5]
III.   Pemikiran Maurice Bucaille
A.    Pemikiran Maurice Bucaille tentang keotentikan al-Qur’an.
       Bucaille mengatakan di dalam bukunya The Bible, the Quran, and the science:
  “Keaslian yang tak dapat disangsikan lagi telah memberi kepada Qur’an suatu kedudukan istimewa di antara kitab-kitab suci, kedudukan ini khusus bagi Qur’an, dan tidak dibarengi oleh perjanjian lama dan perjanjian baru.................
   ”Bagi perjanjian lama, yang menjadi sebab kekeliruan dan kontradiksi yang terdapat di dalamnya adalah: banyaknya pengarang suatu riwayat, dan seringnya teks-teks tersebut ditinjau kembali dalam periode-periode sebelum lahirnya Nabi Isa; mengenai empat injil yang tidak ada orang dapat mengatakan bahwa kitab-kitab itu mengandung kata-kata Yesus secara setia dan jujur atau mengandung riwayat tentang perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan realitas yang sungguh-sungguh terjadi, kita sudah melihat bahwa redaksi-redaksi yang bertubi-tubi menyebabkan bahwa teks-teks tersebut kehilangan autentisitas. Selain dari pada itu para penulis injil tidak merupakan saksi mata terhadap kehidupan Yesus.[6]
   “Bagi Qur’an, keadaannya berlainan. Teks Qur’an atau wahyu itu dihafalkan oleh Nabi dan para sahabatnya, langsung setelah wahyu diterima, dan ditulis oleh sahabat-sahabat yang ditentukannya. Jadi, dari permulaan, Qur’an mempunyai dua unsur autentisitas tersebut, yang tidak dimiliki injil. Hal ini berlangsung sampai wafatnya Nabi Muhammad. Penghafalan Qur’an pada zaman manusia sedikit sekali yang dapat menulis, memberikan kelebihan jaminan yang sangat besar pada waktu pembukuan Qur’an secara definitif, dan disertai beberapa regu untuk mengawasi pemmbukuan tersebut.[7]
            Dalam pandangannya itu, Bucaille mengakui bahwa al-Qur’an adalah wahyu,  dan hanya al-Qur’an lah yang keasliannya terjaga. berbeda dengan perjanjian lama dan perjanjian baru yang sudah tidak asli.
B.     Pemikiran Maurice Bucaille tentang kesesuaian antara al-Qur’an dengan Sains modern
            Menurut Bucaille, al-Qur’an mempunyai kesesuaian dengan fakta-fakta sains modern, sebagaimana ia menjelaskan tentang Bagaimana burung terbang. Ia mengatakan:
Ayat lain yang menonjolkan tunduknya burung-burung kepada kekuasaan Allah secara total.
   Artinya:Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang ke angkasa bebas, tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang beriman.(QS. Al-Nahl : 79).
            Kita dapat merasakan hubungan antara ayat-ayat yang menekankan ke bersandaran kelakuan burung kepada pengaturan Tuhan dengan hasil-hasil penyelidikan ilmiah yang menunjukan kemahiran beberapa jenis burung  dalam mengatur kepindahan mereka dari satu daerah ke daerah lain. Memang hanya adanya program kepindahan yang terdapat dalam watak sesuatu macam biantanglah yang dapat menjadikan binatang-binatang itu mengerti trayek yang sukar dan bernelit-belit bagi burung muda yang tidak punya pengalaman dan tak punya orang yang menunjukan jalan, serta dapat pula kembali pada tanggal yang pasti kepada tempat asal mulanya.
            Dalam bukunya, kekuatan dan kelemahan (paris, 1972), Prof. Hamburger menyebutkan contoh yang masyhur mengenai burung di lautan fasifik dan perjalanan perpindahannya yang membentuk angka 8 dan mencapai jarak 25.000 km. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu kurang lebih enam bulan dan perjalalan kembali ditempuh dengan waktu sama (selisih waktu paling lama satu minggu). Para ahli sudah mengakui bahwa petunjuk-petunjuk yang kompleks untuk perjalanan itu telah tertulis dalam sel syaraf burung-burung tersebut. Memang hal-hal tersebut sudah teratur.[8]
IV.             Pendekatan dan Metodologi Maurice Bucaille
            Pertama,Dalam meneliti keautentikan  al-Qur’an, ia melakukan pendekan Historis dan filologis,  Dengan metode komparasi. Dimana ia meneliti sejarah al-Qur’an, dan juga meneliti tentang keaslian teks-teksnya. sebagai contoh:
“Wahyu Qur’an telah disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat jibril, sedikit demi sedikit selama lebih dari 20 tahun. Wahyu yang pertama adalah yang sekarang merupakan ayat-ayat pertama surat al-A’laq. Kemudian wahyu itu berhenti selama 3 tahun, dan mulai lagi berdatangan selama 20 tahun sampai wafatnya Nabi Mahammad pada tahun 632 M, dapat dikatakan bahwa turunnya wahyu berlangsung 10 tahun sebelum hijrah dan 10 tahun lagi sesudah hijrah.....
Menurut Prof. Hamidullah, pada waktu ini terdapat naskah Qur’an (Mushaf) Utsman di Tashkent. Dan Istambul. Jika kita sadar akan kesalahan penyalinan tulisan yang mungkin terjadi, manuskrip yang paling kuno yang kita miliki dan ditemukan di negara-negara adalah identik. Begitu juga naskah-naskah yang ada di eropa. (di Bibleotheque nationale, Paris, terdapat fragmen-fragmen yang menurut para ahli, berasal dari abad VIII dan IX Masehi, artinya berasal dari abad II dan III Hijriyah). Teks-teks kuno yang ditemukan semuanya sama, dengan catatan ada perbedaan-perbedaan yang sangat kecil yang tidak merubah arti teks,....”[9]
Kedua, dalam meneliti kesesuaian antara al-Qur’an dengan sains modern, ia memakai pendekatan saitifik, dengan metode komparasi.
Menurut Pervez Hoodbhoy:” Metode yang dipakai Bucaille sederhana. Dia mengimbau pembacanya menelaah ayat-ayat al-Qur’an tertentu, dan lalu dari bermacam-macam makna yang diinterpretasikan dari ayat ini, dia menarik satu interpretasi yang konsisten dengan fakta ilmiah tertentu. Sesudah itu, dia berkesimpulan bahwa sementara bibel acapkali salah dalam penjelasan tentang fenomena alami, al-Qur’an selalu benar, dan bahwa yang disebut terakhir mengantisipasi penemuan-penemuan besar dalam sains modern secara tepat. Untuk menjelaskan hal ini, dia mendaftar ayat-ayat al-Qur’an dalam jumlah yang cukup mengesankan, yang berkenaan dengan lebah, laba-laba, burung, bermacam-macam tanaman dan sayur, susu binatang, embrio, dan peproduksi manusia. Diskusinya tentang benda mati berkisar dari planet dalam galaksi Bima Sakti sampai galaksi-galaksi lain dan benda-benda antar planet, selanjutnya meluas ke perihal alam semesta dan penaklukan angkasa luar.Dia mengakhiri setiap topik yang didiskusikan dengan kesimpulan agamis-seremonial, bahwa kesesuaian yang mengagumkan antara ayat-ayat Qur’an dengan fakta-fakta ilmiah merupakan bukti kemukjizatannya.[10]
V.      Sikap terhadap gagasan Maurice Bucaille
            Gagasan  Bucaille yang mengatakan bahwa al-Qur’an mempunyai kesesuaian dengan sains modern, satu sisi dapat diterima, dan satu sisi dapat dikritisi. Pertama, bagaimanapun al-Qur’an merupakan kitab petunjuk, al-Qur’an memerintahkan manusia kepada hakikat ilmiah, yaitu dengan mendorong untuk merenung, melihat, memperhatikan, dan mempelajari berbagai isyarat ilmiah agar diungkapkan dan ditemukan. Di sisi lain,al-Qur’an bukanlah sebuah buku sains, ensiklopedi, dan juga tidak menyakini kebenaran “mencocok-cocokan” al-Qur’an dengan  fakta sains modern yang bersifat hipotesa dan spekulatif. 
Syaikh Muhammad al-Ghazali berpendapat:
”Saya menangkap – dan Allah Maha Mengetahui – bahwa kemampuan al-Qur’an untuk memberi inspirasi berlaku sampai akhir zaman dan keberadaannya membuktikan bukan kitab ilmu. Sebab ilmu – dalam artian secara empiris- selalu mengalami pasang surut, sementara menolak teori-teori dan menetapkan fakta-fakta adalah  tugas manusia. Lain halnya al-Qur’an yang tugasnya membina manusia serta membimbingnya ke sarana-sarana yang memungkinkan pintu ilmiah terbuka lebar, karenanya tidak pernah kita jumpai hal-hal kontradiktif antara hakikat ilmiah dan ayat-ayat al-Qur’an.”[11]
Kemudian kritik terhadap Bucaille juga diajukan oleh Ziauddin Sardar. Katanya, karya Bucaille seperti The Bible, the Qur’an and Science, merupakanlegitimasi kepada al-Quran dalam kerangka sains modern- sebuah legitimasi yang tidak diperlukanoleh Kitab suci. Dampaknya, sains diberikan “the same universal and eternal validity as the Qur’an.
Bagi Ziauddin Sardar, al-Qur’an tidak membutuhkan validitas seperti itu karena al-Qur’an adalahabadi bagi kaum Muslimin. Selanjutnya Sardar mengatakan, “While the Qur’an obviously containssome passing references to natural facts, it is by no means a textbook of science. It is a book ofguidance. It provides motivation, and only motivation, for the pursuit of knowledge. Knowledge beginswith the Qur’an and does end with it.”[12]
Selanjutnya Mahdi Ghulshani, seorang ilmuan Iran, juga berkomentar. Menurutnya, ia yakin bahwa kemajuan sains membuat pemahaman atas al-Qur’an menjadi mudah. Ia mengutip pendapat Syaikh Mustafa al-Maraghi yang mengatakan :
“Bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa kitab suci ini mencakup, secara perinci atau ringkas, seluruh sains dalam gaya buku-buku teks, tetapi saya ingin mengatan bahwa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip umum, dalam artian seseorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik spritual manusia yang ingin diketahuinya dengan bantuan prinsip-prinsip tersebut. Adalah kewajiban para ilmuan yang terlibat dalam berbagai sains itu untuk menjelaskan perincian yang diketahui pada masanya kepada masyarakatnya....
“Adalah penting untuk tidak memperluas (makna ayat) sejauh itu agar kita tidak dapat menafsirkan dalam sorotan sains. Juga seseorang tidak boleh melebih-lebihkan penafsiran fakta-fakta ilmiah sehingga dapat cocok dengan ayat al-Qur’an. Bagaimanapun, jika makna lahiriah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiah yang telah mantap, kita  menafsirkannya dengan bantuan itu. “[13]



Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Muhammad. Al-Qur’an Kitab Zaman kita.  terj:Masykur Hakim dan Ubaidillah. Bandung: Mizan.  2008.
Bucaille,Maurice. Bibel, Qur’an dan Sains Modern. terj:M. Rosyidi. Jakarta: Bulan Bintang.  1994.
.............................Fir’aun dalam Bibel dan al-Qur’an.  terj:Mukhlish Madiyan. Bandung:PT Mizan Pustaka. 2007
Ghulshani, Mahdi.  Filsafat sains menurut al-Qur’an.  Bandung: Mizan.  2003
Hoodbhoy, Pervez . Islam dan Sains: Pertarungan menegakan rasionalitas.  terj: Luqman. Bandung: Pustaka. 1997
http://en.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille
www.INSISTNET.com.


[1]http://en.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille
[2]http://en.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille
[3]http://en.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille
[4]Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, terj:M. Rosyidi,(Jakarta:Bulan Bintang, 1994), hal. 10
[5]Maurice Bucaille, Fir’aun dalam Bibel dan al-Qur’an, terj:Mukhlish Madiyan,(Bandung:PT Mizan Pustaka,2007), hal. vvi
[6]Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, terj:M. Rosyidi,(Jakarta:Bulan Bintang, 1994), hal. 143
[7]Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, terj:M. Rosyidi,(Jakarta:Bulan Bintang, 1994), hal. 143
[8]Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, terj:M. Rosyidi,(Jakarta:Bulan Bintang, 1994), hal. 227
[9]Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an dan Sains Modern, terj:M. Rosyidi,(Jakarta:Bulan Bintang, 1994), hal. 148
[10]Pervez  Hoodbhoy, Islam dan Sains: Pertarungan menegakan rasionalitas, terj: Luqman,(Bandung:Pustaka, 1997),hal.86
[11]Muhammad al-Ghazali, al-Qur’an Kitab Zaman kita, terj:Masykur Hakim dan Ubaidillah, (Bandung: Mizan, 2008) hal. 326.
[12]www.INSISTNET.com. Disampaikan dalam Diskusi Sabtuan Insists (Institute for Study of Islamic Thought and Civilizations), Sabtu 9Oktober 2010. Oleh Budi Hadrianto dengan judul islamisasi sains.
[13]Mahdi Ghulshani, Filsafat sains menurut al-Qur’an,(Bandung:Mizan, 20030) hal. 62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar