I. PENDAHULUAN
Dalam upaya memahami al-Sunnah al-Nabawiyyah,
dibutuhkan pemahaman yang benar, jauh dari penyempitan. Pemahaman seperti itu,
disebabkan karena memahami secara harfiah, yang berhenti pada susunan
literal hadis sehingga melupakan tujuan
“ruh”nya. Dan juga jauh dari pemahaman yang dipaksakan dan sikap gegabah dalam
memahami al-Sunnah al-Nabawiyyah tersebut. Problem ini menempati posisi penting sekaligus secara substantif memberi spirit revaluatif dan
reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan penafsiran al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Problem pemahaman
ini kemudian dicoba untuk dicarikan solusinya oleh para pemerhati hadis dan
ilmuwan hadis yang mencoba memahami matn hadis dengan berbagai
metode. Salah satunya adalah Yûsuf al-Qardhâwî, yang mencoba menawarkan metode
memahami hadis dalam karyanya Kaifa
Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Tulisan ini akan melakukan
telaah atas tawaran yang diajukan oleh Yûsuf al-Qardhâwî dalam karyanya Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah tentang bagaimana cara memahami al-Sunnah
al-Nabawiyyah yang benar dengan petunjuk dan parameternya.
II. PEMBAHASAN
A . Kelahiran dan Pendidikan Yûsuf al-Qardhâwî
Di
kalangan pemikir Islam, Yusuf Al-Qardhâwî dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik
sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaan itu tak lain Karena al-Qardhawi memiliki cara
atau metodologi yang khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran
metodologinya itulah, dia diterima kalangan dunia barat sebagai pemikir yang
selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itulah
yang membuat nya kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama-agama di
Eropa maupun di Amerika, sebagai wakil kelompok Islam.[1]
Yûsuf Al-Qardhâwî lahir di sebuah desa
kecil di Mesir bernama Saft turâb di tengah Delta pada 9
september 1926. Ia telah menghafal al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Setelah
menamatkan pendidikan di Ma’had al-Tsanawi Tanta, Qardhawi kemudian
melanjutkan studinya ke universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin dan
menyelesaikannya pada tahun 1952 M., namun gelar doktornya baru dia peroleh
pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat Dan Dampaknya Dalam
Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh zakat,
sebuah buku yang komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa moderen.[2]
Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan
Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar
pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas
Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah
Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah mengenyam "pendidikan"
penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun
1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwân
al-Muslimîn. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi
Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua
tahun.
B. Situasi Politik,
Sosial, Keagamaan pada Masanya
Seperti telah
dijelaskan, Al-Qardhâwî lahir dan dibesarkan
di Mesir, pada 9 september 1926. Dengan demikian Al-Qardhâwî lahir dan
dibesarkan pada masa-masa Mesir berada di bawah kekuasaan Inggris, karena ia
baru merdeka dari Inggris pada tahun 1952 M. oleh karena itu sejak masa-masa
awal kehidupannya, al-Qardhâwî sudah merasakan betapa tidak stabilnya situasi
politik, sosial, dan keagamaan Mesir ketika itu. si satu pihak Inggris masih
tetap ingin menguasai Mesir dalam segala bidang. Sementara pihak lain, rakyat
Mesir menginginkan agar Inggris segera keluar dari tanah air mereka.
Pada
perkembangannya, al-Qardhâwî terlibat langsung di dalam pergolakan politik
dan sosial di Mesir. Sejak menduduki sekolah Tsanawiyyah ia telah biasa
mengumandangkan syair-syair perjuangan dalam berbagai momen untuk membela negaranya.
Seperti pada saat diadakan demonstrasi anti Inggris dan kezaliman penguasa.
Pada saat kuliah ia juga ikut dalam pelatihan militer, terutama ketika
pemerintah Mesir membatalkan perjanjian damai dengan Inggris. Keputusan
pembatalan damai ini disambut baik oleh rakyat Mesir. Dan pada saat itulah
seruan untuk melawan Inggris dikumandangkan di kampus-kampus. Tidak sedikit
yang mengikuti pelatihan militer termasuk al-Qardhâwî. Ini menunjukkan
bahwa al- Qardhâwî termasuk salah
seorang pejuang yang merasakan pahit getirnya perjuangan membela tanah air,
baik pada waktu remaja maupun ketika ia beranjak dewasa.[3]
C. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pemikirannya
M. Abed al-Jabiri
dalam Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Muâsirah menjelaskan bahwa
terdapat relasi yang signifikan pada titik tertentu antara suatu konstruksi
pemikiran dengan realitas sosial, sebagai respon dan dialektika pemikiran
terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.[4]
Dengan kata lain, bahwa ada faktor eksternal yang mempengaruhi pemikiran
seseorang ketika memcetuskan sebuah pemikiran. Perbedaannya terletak pada jenis
faktor yang mempengaruhi dan kadar keterpengaruhannya. Begitu juga dengan al-Qardhâwî, ada
faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya itu.
Misalnya dalam hal
ketidakterikatannya dengan salah satu madzhab fiqh ternama, walaupun ia
bermadzhab Hanafi, namun ia tidak terikat, taqlid, fanatik dengan
pendapat-pendapat dalam madzhab tersebut. Atau dalam hal pengembalian langsung
segala persoalan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini dipengaruhi oleh
lingkungan tempat ia berorganisasi, yakni Ikhwân al-Muslimîn yang didirikan
oleh Hasan al-Banna. Dalam buku induknya, Risalah al-Ta’alim, Hasan
al-Banna menyerukan pengikutnya agar membebaskan diri dari fanatisme madzhab
dan menimbang perkataan serta pendapat orang-orang terdahulu dengan al-Qur’an
dan sunnah.[5]
Al-Qardhawi sangat
mengagumi Syaikh Hasan al-Banna dan menyerap banyak pemikirannya.
Baginya Syaikh al-Banna merupakan ulama yang konsisten mempertahankan kemurnian
nilai-nilai agama Islam, tanpa terpengaruh oleh paham nasionalisme dan
sekulerisme yang diimpor dari Barat atau dibawa oleh kaum penjajah ke Mesir dan
dunia Islam. Mengenai wawasan ilmiahnya, selain Hasan al-Banna, Al-Qardhawi
juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama al-Azhar dan juga ulama
terdahulu semisal Imam al-Ghazalî, Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyîm dan Râsyid Ridhâ. Walaupun sangat mengagumi tokoh-tokoh tersebut, ia tidak pernah bertaklid begitu
saja.[6] Hal ini dapat dilihat dari beberapa
tulisannya yang mempunyai nuansa baru dalam pemikiran Islam. salah satunya
yaitu kitab Kaifa Nata’amal
Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Dalam
Kitab Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyyah, Yûsuf Al-Qardhâwi termotivasi untuk menelurkan sebuah karya yang memuat prinsip-prisip
dasar dan karakteristik-karakteristik serta aturan-aturan umum yang esensial
untuk memahami al-sunah dengan pemahaman yang tepat.[7] karyanya
tersebut lahir karena ada permintaan dari Al-Ma’had al-‘Alami li Al-Fikr al-Islami (
lembaga Internasional untuk Pemikiran Islam) di Washington AS, untuk meng-counter
kitab Al-Sunnah Al-Nabawiyyah
baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts karya Syeikh Muhammad al-Ghazalî,
yang dikhawatirkan dapat memalingkan permikiran sebagian pembacanya.[8]
Apa yang menjadi harapannya dalam
buku ini adalah “maksimalisasi” pemahaman atas al-sunnah sebagai tandingan atas
minimalisasi pemahaman yang dilakukan oleh sebagian orang ketika hanya berkutat
pada pemahaman secara harfiyah, sebuah pemahaman yang hanya menyentuh ruh
terdalamnya. Namun, bukan berarti maksimalisasi ini melampaui batasannya
sebagaimana yang diistilahkan oleh Yusuf Al-Qardhawi dengan “memasuki rumah
tanpa melalui pintunya”.[9]
Menurut Yusuf Al-Qardhâwi kedudukan sunnah sebagai penafsiran al-Qur’an dalam praktik atau penerapan
ajaran Islam secara faktual dan ideal, yang memiliki manhaj komprehensif,
seimbang dan memudahkan. Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan
pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis. [10]
Atas dasar inilah maka
Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrem. kedua, manipulasi
orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilîn), yaitu pemalsuan terhadap
ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga, penafsiran
orang-orang bodoh (ta’wil al-Jâhilîn). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil
sikap moderat (wasathiyah), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak
menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman
hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi
dengan sunnah, yaitu;
Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh
pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbâb al-wurûd teks hadis untuk
menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash
yang lebih kuat.
D. Metode Dalam Memahami
Hadis
1. Memahami Hadis Sesuai Petunjuk Al-Qur’an
Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan
pentakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Qur’an,
yaitu bingkai tuntunan-tuntunan illahi yang kebenarannya dan keadilan bersifat
pasti,
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا
مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang yang
benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-An’am :115)
Al-Qur’an adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi illahi yang
menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi
adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun
praktis.[11]
Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’an didasarkan pada
argumentasi bahwa al-Qur’an adalah sumber utama yang menempati tempat tertinggi
dalam keseluruhan sistem doktrial Islam. Sedangkan hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip
al-Qur’an. Oleh karena itu, makna hadis dan signifikansi kontekstualnya tidak
bisa bertentangan dengan al-Qur’an.
Jika terjadi pertentangan, maka hal itu bisa terjadi karena hadis tersebut
tidak sahih, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai
pertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Jika hal itu terjadi, maka
tugas seorang muslim adalah men-tawaqquf-kan hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat
al-Qur’an yang muhkam selama tidak ada penafsiran yang dapat diterima.
Atas dasar itu, hadis palsu yang dikenal dengan hadis gharaniq[12] jelas
harus ditolak karena bertentangan dengan al-Qur’an yang mengancam kaum
musyrik berkenaan dengan “tuhan-tuhan mereka yang palsu”:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ
الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ
ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا
أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا
مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ
وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)
Artinya:“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap
Al-Latta dan Al-Uzza, dan manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai
anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk
Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak
adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu
mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk
(menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa
yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah dating petunjuk
kepada mereka dari Tuhan mereka” (QS An-Najm: 19-23).
Bagaimana mungkin dalam konteks ayat yang berisi celaan dan kecaman
terhadap berhala-berhala tersebut, ada ungkapan yang memuji mereka, yaitu
kalimat, itulah berhala-berhala (gharaniq) yang mulia dan syafaat
mereka sangat diharapkan.
Yusuf al-Qardhawi menyangkal hadis ini, menurutnya, sungguh mustahil dalam
runtutan ayat-ayat yang berisi penyangkalan dan kecaman keras terhadap
patung-patung itu terdapat sisipan yang memujinya.
2. Menghimpun
Hadis-Hadis Yang Terjalin dalam Satu Tema
Upaya memahami sunnah, menurut Yusuf al-Qardhawi, dapat dilakukan dengan menghimpun
hadis-hadis shahih yang berkaitan dengan tema tertentu. Setelah
penghimpunan hadis-hadis setema, langkah berikutnya adalah mengembalikan
kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam,
mengaitkan yang mutlaq dengan yang muqayyad dan
menafsirkan yang ‘am dengan yang khas. Dengan cara seperti itu, dapat dimengerti
maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu
dengan yang lain.[13]
Metode ini merupakan keniscayaan oleh karena hadis berfungsi sebagai
penafsir al-Qur’an dan penjelas makna-maknanya dengan merinci, menafsirkan,
mengkhususkan dan membatasi apa yang dinyatakan oleh al-Qur’an, maka sudah
barang tentu ketentuan-ketentuan ini pula yang di terapkan antar hadis. [14]
Contoh yang diangkat oleh Yusuf al-Qardhawi untuk memperjelas upaya ini
adalah tema tentang hukum Isbâl ( memakai sarung sampai di bawah mata kaki).
Langkah pertama adalah mengemukakan beberapa hadis tentang celaan Isbâl . Kemudian menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan orang-orang yang memakai
sarung sampai di bawah mata kaki. Kemudian menyebutkan
hadis-hadis yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung
sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi khuyalâ ( kesombongan). Selanjutnya ia menampilkan hadis-hadis yang
menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang menjulurkan sarung atau
pakaianya karena khuyalâ ( kesombongan).
Disamping itu, Yusuf al-Qardhawi juga mengungkapkan penjelasan-penjelasan dari berbagai ulama, di
antaranya Ibn Hajar dan al-Nawawî. Pada akhirnya menyimpulkan dengan membawa
hadis-hadis yang dalalah-nya muthlaq pada hadis yang dalalah-nya
muqayyad, bahwa ancaman terhadap perbuatan menjulurkan sarung itu
terbatas kepada orang yang melakukannya karena kesombongan dan kebanggaan diri
saja. Jika menjulurkan sarung karena adat kebiasaan maka tidak termasuk sasaran
ancaman. Yang menjadi perhatian agama, dalam hal ini, adalah niat dan motivasi
batiniah yang berada di balik perbuatan lahiriyah. Hal yang sangat ditentang
oleh agama adalah kesombongan, kebanggaan diri, keangkuhan, sikap merendahkan
orang lain, dan penyakit-penyakit jiwa lainnya. Di samping itu, urusan model
dan bentuk pakaian terkait dengan tradisi dan kebiasaan manusia, yang
seringkali berbeda-beda sesuai perbedaan iklim antara panas dan dingin, antara
kaya dan miskin, antara yang mampu dan tidak, jenis pakaian, tingkat kehidupan,
dan berbagai pengaruh lainnya.[15]
3. Menggabungkan
Atau Men-tarjîh Hadis-Hadis Yang Kontradiksi
Pada prinsipnya, nash-nash syariat yang benar tidak mungkin kontradiksi. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu,
jika terdapat adanya kontradiksi, maka hal itu hanya pada sisi eksternalnya
saja, bukan pada substansinya. Jika kontradiksi tersebut dapat
dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash,
hal itu lebih baik daripada mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan
berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan memperioritaskan yang lainnya.[16] Dengan kata lain, metode al-Jam’u (menggabungkan)
menjadi prioritas utama dalam menyelesaikan kontradiksi tersebut dari pada metode tarjih.
Contoh hadisnya adalah hadis tentang Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Abû Dawûd dan al-Tirmidzi yang
mengharamkan seorang wanita melihat laki-laki sekalipun laki-laki itu buta.
Hadis tersebut bertentangan dengan hadis ‘Aisyah dan Fatimah binti Qais yang keduanya dinilai
sahih:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا ابْنُ
الْمُبَارَكِ عَنْ يُونُسَ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ حَدَّثَنِى نَبْهَانُ مَوْلَى
أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- « احْتَجِبَا مِنْهُ ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ
يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- «
أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ ».[17]
Artinya:“Dari Ummu Salamah, katanya, Aku dan Maimûnah bersama Rasulullah saw. Lalu Ibn Ummu
Maktum datang. Waktu itu telah turun perintah tentang hijab. Rasulullah berkata
kepada kami, ‘berhijablah kalian dihadapannya!’ kami bertanya,’ ya Rasulullah,
bukankah dia buta, tidak bisa melihat dan mengenali kami?’ Nabi saw. menjawab,’apakah kalian berdua juga buta. Bukankah kalian
dapat melihatnya?”
Hadis ini – sekalipun dipandang sahih oleh al-Tirmidzi – dalam sanadnya terdapat Nabhan, maula Ummu Salamah. Ia
seorang yang tidak dikenal identitasnya (majhul) dan tidak dianggap
terpercaya (tsiqqah), kecuali oleh Ibnu Hibban. Al-Dzahabi dalam Al-Mughni
memasukkanyya ke dalam perawi yang dhaif.
Hadis ini bertentangan dengan hadis Al-Bukhari dan Muslim, yang membolehkan
seorang wanita melihat wanita yang bukan mahramnya.
عن عائشة رضي الله عنهما قالت رأيت النبي صلى الله
عليه وسلم يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ
وَهُمْ يَلْعَبُونَ في المسجد[18]
Artinya: “dari aisyah, katanya, Nabi menutupiku dengan selendangnya
ketika aku sedang melihat orang-orang Habasyah sedang bermain di masjid”
Al-Qâdhi
‘Iyâdh berkata, “Hadis ini membolehkan wanita melihat pekerjaan yang dilakukan
kaum laki-laki yang bukan mahram. Adapun yang tidak disukai adalah memandang
bagian-bagian tubuh yang indah dan menikmatinya.” Hal ini dikuatkan oleh hadis
Al-Bukhârî dan Muslim dari Fatimah Binti Qais bahwa Nabi saw. berkata kepadanya,
ketika dia diceraikan oleh suaminya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى
مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ
أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا
عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا
وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ
شَىْءٍ. فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ
فَقَالَ « لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ ». فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِى
بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ « تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِى
اعْتَدِّى عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ
ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِى ». قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ
ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِى.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ
عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى
أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ »[19]
“Tinggallah selama masa
iddahmu di rumah Ibn Ummi Maktum. Ia seorang
buta. Oleh karena itu, engkau dapat menanggalkan bajumu karena ia tidak
melihat”
Sebelumnya, beliau pernah menyarankan kepadanya untuk melewati masa
iddahnya di rumah ummu Syarik, kemudian beliau berkata,”Ia adalah seorang
wanita yang sering dikunjungi sahabat. Sebaiknya engkau tinggal di rumah Ibn
Ummi Maktum”
Al-Qurtubi berkomentar: “Para ulama telah menyimpulkan dalil
dari hadis ini, bahwa perempuan boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sama
seperti yang boleh dilihat oleh laki-laki dan perempuan. Seperti kepala, dan bagian telinga tempat
menggantungkan anting-anting. Tetapi tidak boleh melihat bagian yang termasuk
aurat.
Adapun perintah Nabi saw. agar Fatimah binti
Qais pindah dari rumah Ummu Syarik ke rumah Ibn Ummi Maktum, dilandasi karena
rumah Ummu Syarik sering dikunjungi orang sehingga akan banyak orang yang akan
melihatnya. Sedangkan di rumah Ibn Ummi Maktum, tidak ada orang yang
melihatnya. Dan tentunya ini lebih mudah dan lebih utama baginya untuk
menundukkan pandangannya kepada Ibn Ummi Maktum. [20]
4. Memahami Hadis
Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
Untuk memahami hadis secara tepat dibutuhkan pengetahuan tentang
sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi timbulnya hadis, sehingga dapat
ditemukan illat yang menyertainya. Kalau ini tidak dipertimbangkan,
maka pemahaman akan menjadi salah dan jauh dari tujuan syar’i. Hal ini mengingat
hadis Nabi merupakan penyelesaian terhadap problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporal.
Dengan mengetahui hal ini, seseorang dapat melakukan pemilahan antara yang
umum, sementara dan abadi, dan antara yang universal dengan partikular.
Dalam
pandangan Yusuf al-Qardhawi, adakalanya hadis tampak bersifat umum dan tak
terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum
tersebut berkaitan dengan suatu ‘illat tertentu, sehingga ia akan hilang dengan
sendirinya jika ‘illatnya hilang pula, dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illatnya.[21] Artinya, jika kondisi telah
berubah, dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu
nash akan gugur. Demikian juga dengan hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan
bersifat temporer yang berlaku pada masa Nabi dan mengalami perubahan pada masa
kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukanlah
pengertian harfiyah. Contohnya:
أنتم أعلم بأمر دنياكم ...الحديث رواه مسلم
Hadis ini tidak tepat apabila dimaknai, untuk urusan dunia Rasul
menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam, karena dalam
berbagai bidang: ekonomi, sosial,politik dll. Rasul telah memberikan garis yang
jelas. Hadis ini harus dipahami menurut sebab khusus yang
menyertainya, yakni bahwa untuk urusan penyerbukan kurma, maka para petani
Madinah memang lebih ahli ketimbang Rasul. Maksud hadis Nabi
terhadap keahlian profesi ataupun keahlian lainnya. Jadi, para petani lebih
mengetahui tentang dunia pertanian daripada mereka yang bukan petani. Para
pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan daripada para petani. Petunjuk Nabi
tentang penghargaan terhadap keahlian profesi atau bidang keahlian itu bersifat
universal.[22]
Contoh lainnya, seperti hadis:
لا تسافر امر أة إلا معها محرم رواه البخاري ومسلم
Hadis ini kurang tepat kalau dimaknai setiap perempuan (kapan dan
dimanapun) tidak boleh bepergian sendiri, ia harus disertai mahram. ‘Illat hadis ini
sesungguhnya ialah kekhawatiran akan terjadi fitnah dan bahaya bagi perempuan
yang bepergian sendiri. Mengingat bahwa pada masa itu, ketika seseorang
bepergian, ia akan melewati padang pasir yang luas dan daerah yang jauh dari
jangkauan dan hunian manusia. Dalam konteks itu, seorang perempuan yang
bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya, tentu dikhawatirkan keselamatan
dirinya. Tetapi, jika konteksnya seperti sekarang, ketika perjalanan jauh
ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang tang mengangkut ratusan orang
penumpang atau lebih, atau kereta api yang mengangkut ratusan musafir, maka
tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian
sendiri.[23] Karena
itu ketika kondisi telah aman dan kekhawatiran telah sirna, tidaklah mengapa
perempuan bepergian sendiri.
5. Membedakan Antara Sarana Yang Berubah Dan Tujuan Yang Tetap
Salah satu penyebab kekeliruan dalam memahami sunnah,
ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan yang hendak dicapai
oleh sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang terkadang menunjang pencapaian
sasaran yang dituju. Padahal untuk memahami sunnah yang sangat urgent adalah
tujuan hakikinya, itulah yang tetap dan abadi. Sedangkan pra sarana terkadang
berubah-ubah sesuai lingkungan, zaman, adat istiadat, dan sebagainya.[24]
. Contohnya:
خير ما تداويتم به الحجامة. رواه احمد وغيره
Hadis ini memberitahukan bahwa sebaik-baik obat ialah
berbekam. Berbekam ini merupakan sarana, jadi ketika
telah ditemukan obat yang lebih baik, berbekam tidak lagi dianggap yang
terbaik, dan ini tidak menyalahi hadis. Menurut Yusuf al-Qardhawi, resep yang
disebutkan dalam hadis ini bukanlah “roh” dari pengobatan Nabi. Roh-nya adalah
memelihara kesehatan dan kehidupan manusia, keselamatan tubuh, kekuatan serta
haknya untuk beristirahat jika lelah, dan berobat jika sakit. Berobat tidak
bertentangan dengan keimanan pada takdir ataupun tawakkal kepada Allah.
Sarana itu selalu berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat
yang lain. Bahkan sarana itu mesti berubah. Apabila hadis menentukan sarana
tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan suatu realita, bukan untuk
mengikat kita dengannya, ataupun menutup kita dengan sarana lainnya.[25]
6. Membedakan Antara Ungkapan
Yang Hakiki Dan Majazi
Bahasa arab seringkali menggunakan ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan,
metafor). Dalam ilmu balaghah dinyatakan bahwa
ungkapan dalam bentuk majaz, lebih berkesan ketimbang dalam dalam
bentuk hakiki (biasa). Adapun rasul
yang mulia adalah seorang penutur bahasa arab yang paling menguasai balaghah. Ucapan-ucapannya adalah bagian dari yang diwahyukan maka tidak
mengherankan jika dalam hadis-hadisnya, beliau banyak menggunakan majaz, untuk
mmengungkapkan maksud beliau dengan cara yang mengesankan.
Pengertian majaz disini mencakup majaz lughâwi, ‘aqli, isti’ârah,
kinâyah, dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna
sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat difahami dengan berbagai macam
pendekatan indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual maupun
kontekstual.[26]
Dalam keadaan tertentu, adakalanya pemahaman berdasarkan majaz merupakan
suatu keharusan. Jika tidak difahami dalam makna majaz, artinya
akan menyimpang dari makna yang akan dimaksud dan akan menjerumuskan dalam
kekeliruan. Ketika Rasulullah saw berkata kepada istri-istrinya:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ أَبُو أَحْمَدَ
حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى السِّيْنَانِىُّ أَخْبَرَنَا طَلْحَةُ بْنُ
يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ
الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِى أَطْوَلُكُنَّ يَدًا ». قَالَتْ فَكُنَّ
يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا. قَالَتْ فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا
زَيْنَبُ لأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ. [27]
Artinya: “yang paling cepat menyusulku diantara
kalian-sepeninggalku- adalah yang paling panjang tangannya”
Mereka mengira yang dimaksud adalah orang yang tangannya paling panjang.
Karena itu, seperti yang dikatakan Aisyah r.a; mereka saling mengukur, siapa
diantara mereka yang tangannya paling panjang. Bahkan, menurut beberapa
riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang
paling panjang?
Padahal, Rasulullah saw. tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud dengan sabda
beliau” tangan yang paling panjang” ialah yang paling baik dan dermawan. Sabda
Nabi saw. ini memang sesuai dengan fakta di kemudian hari. Di antara
istri-istri beliau yang paling cepat meninggal dunia-setelah beliau-adalah
Zainab binti Jahsy r.a. ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil,
bekerja dengan kedua tangannya dan suka bersedekah.[28]
7. Membedakan Yang Ghaib Dan Empiris
Jika melihat kandungan hadis, ada banyak hadis-hadis yang berbicara tentang
hal-hal ghaib. Diantaranya, mengenai makhluk-makhluk yang tidak dapat diindra,
alam kubur, kehidupan akhirat termasuk mîzan, mahsyar, hisâb. Hadis-hadis yang berkualitas sahih mengenai hal
semacam ini, bagi Yûsuf al-Qardhâwi tetaplah wajib
diterima. Tidak dibenarkan menolak hadis-hadis tersebut hanya karena tidak bisa
dialami oleh manusia (pengalaman empiris). Selama masih dalam batas kemungkinan
menurut akal, tetaplah bisa diterima. Contohnya:
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عَبْدِ الْمُؤْمِنِ حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ
مَالِكٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ
فِى الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِى ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ
لاَ يَقْطَعُهَا » [29]
Artinya: “Di surga terdapat sebuah pohon yang jika seorang
pengendara melewati dibawahnya selama seratus tahun, maka tidak cukup untuk
menempuhnya”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhârî dan Muslim dari Sahl Ibn Sa’d, Abu Said dan Abû Hurairah. Al-Bukhârî juga meriwayatkan dari Anas. Karena itu, ketika
menafsirkan firman Allah: وَظِلٍّ
مَمْدُودٍ (dalam naungan
yang terbentang luas QS al-Waqi’ah: 30), Ibn Katsîr menyebutkan bahwa
hadis itu benar-benar berasal dari Rasulullah Saw; bahkan termasuk hadis
mutawatir yang dipastikan kesahihannya menurut penilaian para pakar hadis.
Secara lahiriyah, seratus tahun yang dimaksud dalam hadis di atas adalah
menurut ukuran dunia. Dan tidak ada yang mengetahui perbandingan antara waktu
di dunia dan waktu disisi Allah, selain Allah Swt. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا
تَعُدُّون
Artinya: “dan sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu
tahun dalam perhitungan”(QS. Al-Hajj: 47)
Apabila hadis tersebut shahih, kita hanya dapat berkata dengan penuh
keyakinan, “kami percaya dan membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat
ada aturan tersendiri yang berbeda dengan tatanan di dunia.
Menurut al-Qardhawi, sebaiknya beriman saja pada hal-hal yang
ghaib yang dinyatakan di dalam nas, dan tidak perlu bertanya lagi
tentang apa dan mengapa, atau mencari tentang detailnya. Sebab, akal sering
kali tidak mampu menjangkau pengetahuan tentang hal-hal ghaib tersebut.[30]
8. Memastikan
Makna Kata-Kata Dalam Hadis
Memastikan makna dan konotasi kata-kata sangat penting dalam memahami
sebuah hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu
masa ke masa lainnya, dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya.
Adakalanya suatu kelompok menggunakan kata-kata
tertentu untuk menunjukkan kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak
ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini
adalah jika mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam
al-Sunnah sesuai dengan istilah mereka yang baru. Di sini akan timbul kerancuan
dan kekeliruan.
Contohnya ialah pemaknaan kata kata تصوير dan مصورYang
banyak ditemukan dalam teks-teks hadis shahih, yang
maksudnya ialah menggambar dan penggambar yang ada
bayang-bayangnya, dan sekarang dikenal dengan kata memahat dan
pemahat. Padahal dengan berkembangnya bahasa, saat ini
kata tashwîr dan mushawwir, yang dalam
hadis akan diancam dengan ancaman yang sangat pedih itu
diartikan memotret dan memotret /fotografer.
Karena itu kata-kata tersebut tidak boleh dimaknai
sebagaimana makna yang berkembang sekarang, tetapi harus dikembalikan pada
makna aslinya. Teknologi fotografi ini belum ada dan tidak dikenal pada masa Nabi, maka
tidak mungkin ditujukan pada ahli foto. Jadi, memasukkan ancaman kepada ahli
foto tidaklah tepat. Dan inilah yang membuat Yusuf al-Qardhawi berhati-hati
dalam memastikan makna suatu kata tertentu dalam hadis.[31]
IV. KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Metode yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi dalam memahami matan hadis
adalah sebagai berikut:
1. Memahami Hadis Sesuai Petunjuk
Al-Qur’an
2. Menghimpun Hadis-Hadis Yang Setema
3. Menggabungkan Atau Mentarjih
Hadis-Hadis Yang Bertentangan
4. Memahami Hadis Sesuai Latar Belakang,
Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
5. Membedakan Antara Sarana Yang Berubah
Dan Tujuan Yang Tetap
6. Membedakan Antara Ungkapan Yang Hakiki Dan Majaz
7. Membedakan Yang Ghaib Dan Yang Nyata
8. Memastikan Makna Kata-Kata Dalam
Hadis
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hajjaj, Abu al-Husain Muslim. Sahîh Muslim. Riyadh:Dar Thaibah, 2006. Hadis no. 3770.
Al-Jabiri, M. Abed. Isykaliyah al-Fikr
al-‘Arabi al-Mu’ashirah. Beirut:Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah,
1989.
A-Qardhâwi, Yûsuf. Kaifa Nata’âmal
Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, Kairo: Maktabah
Wahbah, 1991.
---------------------, Fatawâ Mu’âsirah. Jilid I, Beirut:Maktab al-Islami, 2000.
---------------------, Hadyu al-Islam Fatawa Mu’asirah,
Jilid I, T.tp: Darul Baidha’, 1988.
Kurdi dkk,. Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadis, Yogyakarta: El-Saq Press, 2010.
Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual
Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal,
Temporal, Dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang,
1994
.
Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad
al-Ghazali dan Yūsuf al-Qaradhāwī. Yogyakarta: Teras, 2008.
Yusuf, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu
Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi, Jakarta: Mizan
Republika, 2003.
Zumrodi, Jurnal Hermeneutik Volume
4, Nomer 1, Januari 2009.
[1] Hery Yusuf, Ensiklopedi Tokoh
Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi (Jakarta: Mizan Republika, 2003), Hlm. 360.
[3] Tarmidzi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non Tasyri’yyah
Menurut Yusuf Al-Qardhâwî (Yogyakarta:Arruz Media, 2011), h.76
[4] M. Abed al-Jabiri, Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi
al-Mu’ashirah (Beirut:Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), h.13.
[6] Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi
Hukum Islam ( Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, Van Hoeve), Cet. I, 1997, hlm. 1449.
[8] Kata Pengantar Lembaga Internasional Untuk Pemikiran
Islam, dalam Yûsuf Al-Qardhâwi, Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), hal. 7-9.
[9] Yûsuf Al-Qardhâwi, Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), hal. 19
[12] Hadis gharaniq adalah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw.
Ketika di Mekah, membaca QS An-Najm dan ketika sampai ke ayat ke 19 dan 20,
“…maka apakah pantas kamu(wahai anak-anak perempuan Allah)…” setan menambahkan
melalui lisan Nabi saw.”…itulah berhala-berhala (gharaniq) yang mulia dan
syafaat mereka sangat diharapkan”. Tambahan kalimat itu didengar oleh kaum
musyrik sehingga mereka kegirangan,” sungguh muhammad sebelum ini tidak pernah
menyebut tuhan-tuhan kita dengan sebutan baik”. Lalu, ketika Nabi sujud, mereka
pun ikut sujud. Tak lama kemudian, jibril datang, “aku tidak pernah membawa
wahyu seperti itu. Itu berasal dari syetan". Bunyi hadis تلك هي الغرانيق العلى و
إن شفاعتهم لترجى
[15] Yûsuf Qardhâwi, Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, hlm. 106-107
[17] Sunan Abu Dawud, no. 4114 dan Sunan at-Tirmidzi, no 1779. Menurut
at-Tirmidzi hadis ini Hasan Sahîh.
[18] H.R. Bukhârî dan Muslim. Juga diriwayatkan oleh yang lainnya
dengan redaksi yang berbeda tetapi maknanya sama. Lihat Al-Lu’lu wa Al-Marjan
no. 513
[22] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani
Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Hlm 58.
[29] Al-Bukhârî, Sahîh
al-Bukhâri (Beirut:Dar Ibn Katsir, 2002), kitab bad’u al-Wahy, hadis ke-3252. H.803
[30] Yûsuf Qardhâwi, Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa Dhawabith, hlm. 175-176
[31] Yûsuf Qardhâwi, Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, hlm. 178-180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar