Sabtu, 21 Maret 2020

Metode Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi dalam Kitab Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah



I.   PENDAHULUAN
Dalam upaya memahami al-Sunnah al-Nabawiyyah, dibutuhkan pemahaman yang benar, jauh dari penyempitan. Pemahaman seperti itu, disebabkan karena memahami secara harfiah, yang berhenti pada susunan literal  hadis sehingga melupakan tujuan “ruh”nya. Dan juga jauh dari pemahaman yang dipaksakan dan sikap gegabah dalam memahami al-Sunnah al-Nabawiyyah tersebut. Problem ini menempati posisi penting sekaligus secara substantif memberi spirit revaluatif dan reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan penafsiran al-Sunnah al-Nabawiyyah.
             Problem pemahaman ini kemudian dicoba untuk dicarikan solusinya oleh para pemerhati hadis dan ilmuwan hadis yang mencoba memahami matn hadis dengan berbagai metode. Salah satunya adalah Yûsuf al-Qardhâwî, yang mencoba menawarkan metode memahami hadis dalam karyanya Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah.
            Tulisan ini akan melakukan telaah atas tawaran yang diajukan oleh Yûsuf al-Qardhâwî dalam karyanya Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah tentang bagaimana cara memahami al-Sunnah al-Nabawiyyah yang benar dengan petunjuk dan parameternya.

II. PEMBAHASAN
A . Kelahiran dan Pendidikan Yûsuf al-Qardhâwî
            Di kalangan pemikir Islam, Yusuf Al-Qardhâwî dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaan itu tak lain Karena al-Qardhawi memiliki cara atau metodologi yang khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itulah, dia diterima kalangan dunia barat sebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itulah yang membuat nya kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama-agama di Eropa maupun di Amerika, sebagai wakil kelompok Islam.[1]
            Yûsuf Al-Qardhâwî lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Saft turâb di tengah Delta pada 9 september 1926. Ia telah menghafal al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Setelah menamatkan pendidikan di Ma’had al-Tsanawi Tanta, Qardhawi kemudian melanjutkan studinya ke universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin dan menyelesaikannya pada tahun 1952 M., namun gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat Dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh zakat, sebuah buku yang komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa moderen.[2]
Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah mengenyam "pendidikan" penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwân al-Muslimîn. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun.

B. Situasi Politik, Sosial, Keagamaan pada Masanya
Seperti telah dijelaskan, Al-Qardhâwî lahir dan dibesarkan di Mesir, pada 9 september 1926. Dengan demikian Al-Qardhâwî lahir dan dibesarkan pada masa-masa Mesir berada di bawah kekuasaan Inggris, karena ia baru merdeka dari Inggris pada tahun 1952 M. oleh karena itu sejak masa-masa awal kehidupannya, al-Qardhâwî sudah merasakan betapa tidak stabilnya situasi politik, sosial, dan keagamaan Mesir ketika itu. si satu pihak Inggris masih tetap ingin menguasai Mesir dalam segala bidang. Sementara pihak lain, rakyat Mesir menginginkan agar Inggris segera keluar dari tanah air mereka.
Pada perkembangannya, al-Qardhâwî terlibat langsung di dalam pergolakan politik dan sosial di Mesir. Sejak menduduki sekolah Tsanawiyyah ia telah biasa mengumandangkan syair-syair perjuangan dalam berbagai momen untuk membela negaranya. Seperti pada saat diadakan demonstrasi anti Inggris dan kezaliman penguasa. Pada saat kuliah ia juga ikut dalam pelatihan militer, terutama ketika pemerintah Mesir membatalkan perjanjian damai dengan Inggris. Keputusan pembatalan damai ini disambut baik oleh rakyat Mesir. Dan pada saat itulah seruan untuk melawan Inggris dikumandangkan di kampus-kampus. Tidak sedikit yang mengikuti pelatihan militer termasuk al-Qardhâwî. Ini menunjukkan bahwa al- Qardhâwî termasuk salah seorang pejuang yang merasakan pahit getirnya perjuangan membela tanah air, baik pada waktu remaja maupun ketika ia beranjak dewasa.[3]

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemikirannya
M. Abed al-Jabiri dalam Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Muâsirah menjelaskan bahwa terdapat relasi yang signifikan pada titik tertentu antara suatu konstruksi pemikiran dengan realitas sosial, sebagai respon dan dialektika pemikiran terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.[4] Dengan kata lain, bahwa ada faktor eksternal yang mempengaruhi pemikiran seseorang ketika memcetuskan sebuah pemikiran. Perbedaannya terletak pada jenis faktor yang mempengaruhi dan kadar keterpengaruhannya. Begitu juga dengan al-Qardhâwî, ada faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya itu.
Misalnya dalam hal ketidakterikatannya dengan salah satu madzhab fiqh ternama, walaupun ia bermadzhab Hanafi, namun ia tidak terikat, taqlid, fanatik dengan pendapat-pendapat dalam madzhab tersebut. Atau dalam hal pengembalian langsung segala persoalan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia berorganisasi, yakni Ikhwân al-Muslimîn yang didirikan oleh Hasan al-Banna. Dalam buku induknya, Risalah al-Ta’alim, Hasan al-Banna menyerukan pengikutnya agar membebaskan diri dari fanatisme madzhab dan menimbang perkataan serta pendapat orang-orang terdahulu dengan al-Qur’an dan sunnah.[5]
Al-Qardhawi sangat mengagumi Syaikh Hasan al-Banna dan menyerap banyak pemikirannya. Baginya Syaikh al-Banna merupakan ulama yang konsisten mempertahankan kemurnian nilai-nilai agama Islam, tanpa terpengaruh oleh paham nasionalisme dan sekulerisme yang diimpor dari Barat atau dibawa oleh kaum penjajah ke Mesir dan dunia Islam. Mengenai wawasan ilmiahnya, selain Hasan al-Banna, Al-Qardhawi juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama al-Azhar dan juga ulama terdahulu semisal Imam al-Ghazalî, Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyîm dan Râsyid Ridhâ.  Walaupun sangat mengagumi tokoh-tokoh  tersebut, ia tidak pernah bertaklid begitu saja.[6]  Hal ini dapat dilihat dari beberapa tulisannya yang mempunyai nuansa baru dalam pemikiran Islam. salah satunya yaitu kitab Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah.
            Dalam Kitab Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Yûsuf Al-Qardhâwi termotivasi untuk menelurkan sebuah karya yang memuat prinsip-prisip dasar dan karakteristik-karakteristik serta aturan-aturan umum yang esensial untuk memahami al-sunah dengan pemahaman yang tepat.[7] karyanya tersebut lahir karena ada permintaan dari Al-Ma’had al-‘Alami li Al-Fikr al-Islami ( lembaga Internasional untuk Pemikiran Islam) di Washington AS, untuk meng-counter kitab Al-Sunnah  Al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts karya Syeikh Muhammad al-Ghazalî, yang dikhawatirkan dapat memalingkan permikiran sebagian pembacanya.[8]
 Apa yang menjadi harapannya dalam buku ini adalah “maksimalisasi” pemahaman atas al-sunnah sebagai tandingan atas minimalisasi pemahaman yang dilakukan oleh sebagian orang ketika hanya berkutat pada pemahaman secara harfiyah, sebuah pemahaman yang hanya menyentuh ruh terdalamnya. Namun, bukan berarti maksimalisasi ini melampaui batasannya sebagaimana yang diistilahkan oleh Yusuf Al-Qardhawi dengan “memasuki rumah tanpa melalui pintunya”.[9]
Menurut Yusuf Al-Qardhâwi kedudukan sunnah sebagai penafsiran al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal, yang memiliki manhaj komprehensif, seimbang dan memudahkan. Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis. [10]
Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrem.  kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilîn), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-Jâhilîn). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiyah), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbâb al-wurûd teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.

D. Metode Dalam Memahami Hadis      
1.      Memahami Hadis Sesuai Petunjuk Al-Qur’an
Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan pentakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, yaitu bingkai tuntunan-tuntunan illahi yang kebenarannya dan keadilan bersifat pasti,
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-An’am :115)

Al-Qur’an adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis.[11]
Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’an didasarkan pada argumentasi bahwa al-Qur’an adalah sumber utama yang menempati tempat tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrial Islam. Sedangkan hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-Qur’an. Oleh karena itu, makna hadis dan signifikansi kontekstualnya tidak bisa bertentangan dengan al-Qur’an.
Jika terjadi pertentangan, maka hal itu bisa terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai pertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Jika hal itu terjadi, maka tugas seorang muslim adalah men-tawaqquf-kan hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang muhkam selama tidak ada penafsiran yang dapat diterima.
Atas dasar itu, hadis palsu yang dikenal dengan hadis gharaniq[12] jelas harus ditolak karena bertentangan dengan al-Qur’an yang mengancam kaum musyrik berkenaan dengan “tuhan-tuhan mereka yang palsu”:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)

Artinya:“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Latta dan Al-Uzza, dan manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah dating petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” (QS An-Najm: 19-23).
Bagaimana mungkin dalam konteks ayat yang berisi celaan dan kecaman terhadap berhala-berhala tersebut, ada ungkapan yang memuji mereka, yaitu kalimat, itulah berhala-berhala (gharaniq) yang mulia dan syafaat mereka sangat diharapkan.
Yusuf al-Qardhawi menyangkal hadis ini, menurutnya, sungguh mustahil dalam runtutan ayat-ayat yang berisi penyangkalan dan kecaman keras terhadap patung-patung itu terdapat sisipan yang memujinya.

2.      Menghimpun Hadis-Hadis  Yang Terjalin dalam Satu Tema
Upaya memahami sunnah, menurut Yusuf al-Qardhawi, dapat dilakukan dengan menghimpun hadis-hadis shahih yang berkaitan dengan tema tertentu. Setelah penghimpunan hadis-hadis setema, langkah berikutnya adalah mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlaq dengan yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khas. Dengan cara seperti itu, dapat dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lain.[13]
Metode ini merupakan keniscayaan oleh karena hadis berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an dan penjelas makna-maknanya dengan merinci, menafsirkan, mengkhususkan dan membatasi apa yang dinyatakan oleh al-Qur’an, maka sudah barang tentu ketentuan-ketentuan ini pula yang di terapkan antar hadis. [14]
Contoh yang diangkat oleh Yusuf al-Qardhawi untuk memperjelas upaya ini adalah tema tentang hukum  Isbâl ( memakai sarung sampai di bawah mata kaki). Langkah pertama adalah mengemukakan beberapa hadis tentang celaan Isbâl . Kemudian menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan orang-orang yang memakai sarung sampai di bawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis  yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi khuyalâ ( kesombongan). Selanjutnya ia menampilkan hadis-hadis yang menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang menjulurkan sarung atau pakaianya karena khuyalâ ( kesombongan).
Disamping itu, Yusuf al-Qardhawi juga mengungkapkan penjelasan-penjelasan dari berbagai ulama, di antaranya Ibn Hajar dan al-Nawawî. Pada akhirnya menyimpulkan dengan membawa hadis-hadis yang dalalah-nya muthlaq pada hadis yang dalalah-nya muqayyad, bahwa ancaman terhadap perbuatan menjulurkan sarung itu terbatas kepada orang yang melakukannya karena kesombongan dan kebanggaan diri saja. Jika menjulurkan sarung karena adat kebiasaan maka tidak termasuk sasaran ancaman. Yang menjadi perhatian agama, dalam hal ini, adalah niat dan motivasi batiniah yang berada di balik perbuatan lahiriyah. Hal yang sangat ditentang oleh agama adalah kesombongan, kebanggaan diri, keangkuhan, sikap merendahkan orang lain, dan penyakit-penyakit jiwa lainnya. Di samping itu, urusan model dan bentuk pakaian terkait dengan tradisi dan kebiasaan manusia, yang seringkali berbeda-beda sesuai perbedaan iklim antara panas dan dingin, antara kaya dan miskin, antara yang mampu dan tidak, jenis pakaian, tingkat kehidupan, dan berbagai pengaruh lainnya.[15]

3.      Menggabungkan Atau Men-tarjîh Hadis-Hadis Yang Kontradiksi
Pada prinsipnya, nash-nash syariat yang benar tidak mungkin  kontradiksi. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, jika terdapat adanya kontradiksi, maka hal itu hanya pada sisi eksternalnya saja, bukan pada substansinya. Jika kontradiksi tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, hal itu lebih baik daripada mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan memperioritaskan yang lainnya.[16] Dengan kata lain, metode al-Jam’u (menggabungkan) menjadi prioritas utama dalam menyelesaikan kontradiksi tersebut dari pada  metode tarjih.
Contoh hadisnya adalah hadis tentang Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Abû Dawûd dan al-Tirmidzi yang mengharamkan seorang wanita melihat laki-laki sekalipun laki-laki itu buta. Hadis tersebut bertentangan dengan hadis Aisyah dan Fatimah binti Qais yang keduanya dinilai sahih:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يُونُسَ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ حَدَّثَنِى نَبْهَانُ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « احْتَجِبَا مِنْهُ ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ ».[17]

Artinya:“Dari Ummu Salamah, katanya, Aku dan Maimûnah bersama Rasulullah saw. Lalu Ibn Ummu Maktum datang. Waktu itu telah turun perintah tentang hijab. Rasulullah berkata kepada kami, ‘berhijablah kalian dihadapannya!’ kami bertanya,’ ya Rasulullah, bukankah dia buta, tidak bisa melihat dan mengenali kami?’ Nabi saw. menjawab,’apakah kalian berdua juga buta. Bukankah kalian dapat melihatnya?”

Hadis inisekalipun dipandang sahih oleh al-Tirmidzidalam sanadnya terdapat Nabhan, maula Ummu Salamah. Ia seorang yang tidak dikenal identitasnya (majhul) dan tidak dianggap terpercaya (tsiqqah), kecuali oleh Ibnu Hibban. Al-Dzahabi dalam Al-Mughni memasukkanyya ke dalam perawi yang dhaif.
Hadis ini bertentangan dengan hadis Al-Bukhari dan Muslim, yang membolehkan seorang wanita melihat wanita yang bukan mahramnya.
عن عائشة رضي الله عنهما قالت رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ في المسجد[18]
Artinya: “dari aisyah, katanya, Nabi menutupiku dengan selendangnya ketika aku sedang melihat orang-orang Habasyah sedang bermain di masjid”
            Al-Qâdhi ‘Iyâdh berkata, “Hadis ini membolehkan wanita melihat pekerjaan yang dilakukan kaum laki-laki yang bukan mahram. Adapun yang tidak disukai adalah memandang bagian-bagian tubuh yang indah dan menikmatinya.” Hal ini dikuatkan oleh hadis Al-Bukhârî dan Muslim dari Fatimah Binti Qais bahwa Nabi saw. berkata kepadanya, ketika dia diceraikan oleh suaminya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَىْءٍ. فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ « لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ ». فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِى بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ « تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِى اعْتَدِّى عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِى ». قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ »[19]
“Tinggallah selama masa iddahmu di rumah Ibn Ummi Maktum. Ia seorang buta. Oleh karena itu, engkau dapat menanggalkan bajumu karena ia tidak melihat”

Sebelumnya, beliau pernah menyarankan kepadanya untuk melewati masa iddahnya di rumah ummu Syarik, kemudian beliau berkata,”Ia adalah seorang wanita yang sering dikunjungi sahabat. Sebaiknya engkau tinggal di rumah Ibn Ummi Maktum”
 Al-Qurtubi berkomentar: “Para ulama telah menyimpulkan dalil dari hadis ini, bahwa perempuan boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sama seperti yang boleh dilihat oleh laki-laki dan perempuan. Seperti kepala, dan bagian telinga tempat menggantungkan anting-anting. Tetapi tidak boleh melihat bagian yang termasuk aurat.
Adapun perintah Nabi saw. agar Fatimah binti Qais pindah dari rumah Ummu Syarik ke rumah Ibn Ummi Maktum, dilandasi karena rumah Ummu Syarik sering dikunjungi orang sehingga akan banyak orang yang akan melihatnya. Sedangkan di rumah Ibn Ummi Maktum, tidak ada orang yang melihatnya. Dan tentunya ini lebih mudah dan lebih utama baginya untuk menundukkan pandangannya kepada Ibn Ummi Maktum. [20]

4.      Memahami Hadis Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
Untuk memahami hadis secara tepat dibutuhkan pengetahuan tentang sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi timbulnya hadis, sehingga dapat ditemukan illat yang menyertainya.  Kalau ini tidak dipertimbangkan, maka pemahaman akan menjadi salah dan jauh dari tujuan syari. Hal ini mengingat hadis Nabi merupakan penyelesaian terhadap problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporal. Dengan mengetahui hal ini, seseorang dapat melakukan pemilahan antara yang umum, sementara dan abadi, dan antara yang universal dengan partikular.
            Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi, adakalanya hadis tampak bersifat umum dan tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illat tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika ‘illatnya hilang pula, dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illatnya.[21] Artinya, jika kondisi telah berubah, dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu nash akan gugur. Demikian juga dengan hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan bersifat temporer yang berlaku pada masa Nabi dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukanlah pengertian harfiyah. Contohnya:
أنتم أعلم بأمر دنياكم ...الحديث رواه مسلم
Hadis ini tidak tepat apabila dimaknai, untuk urusan dunia Rasul menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam,  karena  dalam berbagai bidang: ekonomi, sosial,politik dll. Rasul telah memberikan garis yang jelas.  Hadis ini harus dipahami  menurut sebab khusus yang menyertainya, yakni bahwa untuk urusan penyerbukan kurma, maka para petani Madinah memang lebih ahli ketimbang  Rasul. Maksud hadis Nabi terhadap keahlian profesi ataupun keahlian lainnya. Jadi, para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian daripada mereka yang bukan petani. Para pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan daripada para petani. Petunjuk Nabi tentang penghargaan terhadap keahlian profesi atau bidang keahlian itu bersifat universal.[22]
Contoh lainnya, seperti hadis:
لا تسافر امر أة إلا معها محرم  رواه البخاري ومسلم
Hadis ini kurang tepat kalau dimaknai setiap perempuan (kapan dan dimanapun) tidak boleh bepergian sendiri, ia harus disertai mahram.  Illat hadis ini sesungguhnya ialah kekhawatiran akan terjadi fitnah dan bahaya bagi perempuan yang bepergian sendiri. Mengingat bahwa pada masa itu, ketika seseorang bepergian, ia akan melewati padang pasir yang luas dan daerah yang jauh dari jangkauan dan hunian manusia. Dalam konteks itu, seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya, tentu dikhawatirkan keselamatan dirinya. Tetapi, jika konteksnya seperti sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang tang mengangkut ratusan orang penumpang atau lebih, atau kereta api yang mengangkut ratusan musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri.[23] Karena itu ketika kondisi telah aman dan kekhawatiran telah sirna, tidaklah mengapa perempuan  bepergian sendiri.

5.  Membedakan Antara Sarana Yang Berubah Dan Tujuan Yang Tetap
Salah satu penyebab kekeliruan dalam memahami sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan yang hendak dicapai oleh sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang terkadang menunjang pencapaian sasaran yang dituju. Padahal untuk memahami sunnah yang sangat urgent adalah tujuan hakikinya, itulah yang tetap dan abadi. Sedangkan pra sarana terkadang berubah-ubah sesuai lingkungan, zaman, adat istiadat, dan sebagainya.[24]
. Contohnya:
خير ما تداويتم به الحجامة.  رواه احمد وغيره
Hadis ini memberitahukan bahwa sebaik-baik obat ialah berbekam.  Berbekam  ini merupakan sarana, jadi ketika telah ditemukan obat yang lebih baik, berbekam tidak lagi dianggap yang terbaik, dan ini tidak menyalahi hadis. Menurut Yusuf al-Qardhawi, resep yang disebutkan dalam hadis ini bukanlah “roh” dari pengobatan Nabi. Roh-nya adalah memelihara kesehatan dan kehidupan manusia, keselamatan tubuh, kekuatan serta haknya untuk beristirahat jika lelah, dan berobat jika sakit. Berobat tidak bertentangan dengan keimanan pada takdir ataupun tawakkal kepada Allah.
Sarana itu selalu berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan sarana itu mesti berubah. Apabila hadis menentukan sarana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan suatu realita, bukan untuk mengikat kita dengannya, ataupun menutup kita dengan sarana lainnya.[25]

6.    Membedakan Antara Ungkapan Yang Hakiki Dan Majazi
Bahasa arab seringkali menggunakan ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafor). Dalam ilmu balaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih berkesan ketimbang dalam dalam bentuk hakiki (biasa). Adapun rasul yang mulia adalah seorang penutur bahasa arab yang paling menguasai balaghah. Ucapan-ucapannya adalah bagian dari yang diwahyukan maka tidak mengherankan jika dalam hadis-hadisnya, beliau banyak menggunakan majaz, untuk mmengungkapkan maksud beliau dengan cara yang mengesankan.
Pengertian majaz disini mencakup majaz lughâwi, ‘aqli, isti’ârah, kinâyah, dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat difahami dengan berbagai macam pendekatan indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual.[26]
Dalam keadaan tertentu, adakalanya pemahaman berdasarkan majaz merupakan suatu keharusan. Jika tidak difahami dalam makna majaz, artinya akan menyimpang dari makna yang akan dimaksud dan akan menjerumuskan dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw berkata kepada istri-istrinya:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى السِّيْنَانِىُّ أَخْبَرَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِى أَطْوَلُكُنَّ يَدًا ». قَالَتْ فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا. قَالَتْ فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ لأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ. [27]
Artinya: “yang paling cepat menyusulku diantara kalian-sepeninggalku- adalah yang paling panjang tangannya”
Mereka mengira yang dimaksud adalah orang yang tangannya paling panjang. Karena itu, seperti yang dikatakan Aisyah r.a; mereka saling mengukur, siapa diantara mereka yang tangannya paling panjang. Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang?
Padahal, Rasulullah saw. tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud dengan sabda beliau” tangan yang paling panjang” ialah yang paling baik dan dermawan. Sabda Nabi saw. ini memang sesuai dengan fakta di kemudian hari. Di antara istri-istri beliau yang paling cepat meninggal dunia-setelah beliau-adalah Zainab binti Jahsy r.a. ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya dan suka bersedekah.[28]


7.  Membedakan Yang Ghaib Dan Empiris
Jika melihat kandungan hadis, ada banyak hadis-hadis yang berbicara tentang hal-hal ghaib. Diantaranya, mengenai makhluk-makhluk yang tidak dapat diindra, alam kubur, kehidupan akhirat termasuk mîzan, mahsyar, hisâb. Hadis-hadis yang berkualitas sahih mengenai hal semacam ini, bagi Yûsuf al-Qardhâwi tetaplah wajib diterima. Tidak dibenarkan menolak hadis-hadis tersebut hanya karena tidak bisa dialami oleh manusia (pengalaman empiris). Selama masih dalam batas kemungkinan menurut akal, tetaplah bisa diterima. Contohnya:
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عَبْدِ الْمُؤْمِنِ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ فِى الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِى ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لاَ يَقْطَعُهَا » [29]
Artinya: “Di surga terdapat sebuah pohon yang jika seorang pengendara melewati dibawahnya selama seratus tahun, maka tidak cukup untuk menempuhnya”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhârî dan Muslim dari Sahl Ibn Sa’d, Abu Said  dan Abû Hurairah. Al-Bukhârî juga meriwayatkan dari Anas. Karena itu, ketika menafsirkan firman Allah: وَظِلٍّ مَمْدُودٍ (dalam naungan yang terbentang luas QS al-Waqi’ah: 30), Ibn Katsîr menyebutkan bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Rasulullah Saw; bahkan termasuk hadis mutawatir yang dipastikan kesahihannya menurut penilaian para pakar hadis.
Secara lahiriyah, seratus tahun yang dimaksud dalam hadis di atas adalah menurut ukuran dunia. Dan tidak ada yang mengetahui perbandingan antara waktu di dunia dan waktu disisi Allah, selain Allah Swt. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّون
Artinya: “dan sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dalam perhitungan”(QS. Al-Hajj: 47)
Apabila hadis tersebut shahih, kita hanya dapat berkata dengan penuh keyakinan, “kami percaya dan membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat ada aturan tersendiri yang berbeda dengan tatanan di dunia.
Menurut al-Qardhawi,  sebaiknya beriman saja pada hal-hal yang ghaib yang dinyatakan di dalam nas, dan tidak perlu bertanya lagi tentang apa dan mengapa, atau mencari tentang detailnya. Sebab, akal sering kali tidak mampu menjangkau pengetahuan tentang hal-hal ghaib tersebut.[30]

8.      Memastikan Makna Kata-Kata Dalam Hadis
Memastikan makna dan konotasi kata-kata sangat penting dalam memahami sebuah hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya.
Adakalanya suatu kelompok menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukkan kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah jika mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam al-Sunnah sesuai dengan istilah mereka yang baru. Di sini akan timbul kerancuan dan kekeliruan.
Contohnya ialah pemaknaan kata kata تصوير  dan   مصورYang banyak  ditemukan dalam teks-teks hadis shahih, yang maksudnya  ialah menggambar dan penggambar  yang ada bayang-bayangnya, dan sekarang dikenal dengan kata memahat dan pemahat. Padahal   dengan berkembangnya bahasa, saat ini kata tashwîr dan mushawwir, yang dalam hadis  akan diancam dengan ancaman yang sangat pedih itu diartikan  memotret dan memotret /fotografer.
Karena  itu kata-kata  tersebut tidak boleh dimaknai sebagaimana makna yang berkembang sekarang, tetapi harus dikembalikan pada makna aslinya. Teknologi fotografi ini belum ada dan tidak dikenal pada masa Nabi, maka tidak mungkin ditujukan pada ahli foto. Jadi, memasukkan ancaman kepada ahli foto tidaklah tepat. Dan inilah yang membuat Yusuf al-Qardhawi berhati-hati dalam memastikan makna suatu kata tertentu dalam hadis.[31]

IV.  KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Metode yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi dalam memahami matan hadis adalah sebagai berikut:
1.      Memahami Hadis Sesuai Petunjuk Al-Qur’an
2.      Menghimpun Hadis-Hadis Yang Setema
3.      Menggabungkan Atau Mentarjih Hadis-Hadis Yang Bertentangan
4.      Memahami Hadis Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
5.      Membedakan Antara Sarana Yang Berubah Dan Tujuan Yang Tetap
6.      Membedakan Antara Ungkapan Yang Hakiki Dan Majaz
7.      Membedakan Yang Ghaib Dan Yang Nyata
8.      Memastikan Makna Kata-Kata Dalam Hadis




DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhârî, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’îl.  Sahîh al-Bukhârî. Beirut:Dar Ibn Katsir, 2002.

Al-Hajjaj, Abu al-Husain Muslim. Sahîh Muslim. Riyadh:Dar Thaibah, 2006.  Hadis no. 3770.

Al-Jabiri, M. Abed. Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashirah. Beirut:Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989.

A-Qardhâwi,  Yûsuf. Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, Kairo:  Maktabah Wahbah, 1991.
---------------------, Fatawâ  Mu’âsirah. Jilid I, Beirut:Maktab al-Islami, 2000.
---------------------, Hadyu al-Islam Fatawa Mu’asirah, Jilid I, T.tp: Darul Baidha’, 1988.

Kurdi dkk,. Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadis, Yogyakarta: El-Saq Press, 2010.

Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994
.
Suryadi.  Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yūsuf al-Qaradhāwī. Yogyakarta: Teras, 2008.

Yusuf, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi, Jakarta: Mizan Republika, 2003.

Zumrodi, Jurnal Hermeneutik Volume 4, Nomer 1, Januari 2009.












[1] Hery Yusuf,  Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi (Jakarta: Mizan Republika, 2003),  Hlm. 360.
[2] Zumrodi, Jurnal Hermeneutik Volume 4, Nomer 1, Januari 2009, Hal: 166
[3] Tarmidzi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non Tasyri’yyah Menurut Yusuf Al-Qardhâwî (Yogyakarta:Arruz Media, 2011), h.76
[4] M. Abed al-Jabiri, Isykaliyah al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashirah (Beirut:Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), h.13.
[5] Yûsuf al-Qardhâwî Fatawâ  Mu’âshirah (Beirut:Maktab al-Islami, 2000), Jilid I, h. 4
[6] Abdul Aziz Dahlan,  et. al., Ensiklopedi Hukum Islam ( Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, Van Hoeve), Cet. I, 1997, hlm. 1449.
[7] Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadis (Yogyakarta: El-Saq Press, 2010), Hal 434.
[8] Kata Pengantar Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam, dalam Yûsuf Al-Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo:  Maktabah Wahbah, 1991), hal. 7-9.
[9] Yûsuf Al-Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah  Ma’alim Wa Dhawabith (Kairo:  Maktabah Wahbah, 1991), hal. 19
[10] Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadis,  Hal 435
[11] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, hlm 93.
[12] Hadis gharaniq adalah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw. Ketika di Mekah, membaca QS An-Najm dan ketika sampai ke ayat ke 19 dan 20, “…maka apakah pantas kamu(wahai anak-anak perempuan Allah)…” setan menambahkan melalui lisan Nabi saw.”…itulah berhala-berhala (gharaniq) yang mulia dan syafaat mereka sangat diharapkan”. Tambahan kalimat itu didengar oleh kaum musyrik sehingga mereka kegirangan,” sungguh muhammad sebelum ini tidak pernah menyebut tuhan-tuhan kita dengan sebutan baik”. Lalu, ketika Nabi sujud, mereka pun ikut sujud. Tak lama kemudian, jibril datang, “aku tidak pernah membawa wahyu seperti itu. Itu berasal dari syetan". Bunyi hadis تلك هي الغرانيق العلى و إن شفاعتهم لترجى
[13] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, hlm 103
[14] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, hlm 103
[15] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, hlm. 106-107
[16] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, hlm. 113
[17] Sunan Abu Dawud, no. 4114 dan Sunan at-Tirmidzi, no 1779. Menurut at-Tirmidzi hadis ini Hasan Sahîh.
[18] H.R. Bukhârî dan Muslim. Juga diriwayatkan oleh yang lainnya dengan redaksi yang berbeda tetapi maknanya sama. Lihat Al-Lu’lu wa Al-Marjan no. 513
[19] Muslim, Sahîh Muslim,  (Riyadh:Dar Thaibah, 2006), hadis no. 3770
[20] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim  Wa Dhawabith, hlm. 115
[21] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim  Wa Dhawabith, hlm. 125-128
[22] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Hlm 58.
[23] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim  Wa Dhawabith, hlm. 129
[24] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim  Wa Dhawabith, hlm. 139
[25]Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim  Wa Dhawabith, hlm. 140
[26] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim  Wa Dhawabith, hlm. 155
[27] Sahîh Muslim no. 6470, juz 7 hlm 144
[28] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim  Wa Dhawabith, hlm. 156

[29] Al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhâri (Beirut:Dar Ibn Katsir, 2002), kitab bad’u al-Wahy, hadis ke-3252. H.803 
[30] Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’âlim  Wa Dhawabith, hlm. 175-176
[31]  Yûsuf Qardhâwi,  Kaifa Nata’âmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim  Wa Dhawabith, hlm. 178-180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar