Sabtu, 21 Maret 2020

HADIS TEMATIK TENTANG ISBAL



A.    Pendahuluan
Seiring dengan arus kebangkitan Islam, maka kesadaran untuk berislam secara kaffah menjadi hal yang niscaya, baik oleh muslim dan muslimah. Semangat mengamalkan sunah nabi adalah bagian dari cakupan kekaffahan pemahaman Islam seseorang. Termasuk keinginan sebagian umat Islam memendekkan pakaian di atas mata kaki bahkan setengah betis. Tentu tidak lupa juga memanjangkan jenggot, memendekkan kumis, serta menutup aurat secara sempurna bagi para muslimahnya.
Fenomena ini harus disambut gembira dan diberikan dukungan, sebagai pengimbang atas betapa kuatnya budaya-budaya di luar Islam, Selain memang itu sebagai syi’ar Islam. Namun, di tengah umat  Islam, bukan bebarti tanpa masalah internal. Sering kita melihat sesama umat Islam saling menghujat hanya karena perselisihan pemahaman fiqih semata, termasuk isbal (pelakunya disebut musbil) ini. Biasanya sikap keras dilancarkan oleh pihak yang memahami bahwa isbal itu haram walaupun tanpa rasa sombong. Sementara pihak yang diserang pun tentunya memberikan pembelaan dengan berbagai hujjah yang mereka miliki. Akhirnya, bukan masalah ini saja dan ini bukan yang terakhir, Umat Islam pun berputar-putar pada masalah yang memang sejak lama para ulama berselisih, mereka hanyalah melakukan siaran ulang saja. Sementara, banyak amal-amal pokok dan produktif menjadi tertinggal.
Seharusnya tidak boleh ada sikap keras dalam masalah isbal ini, dan seharusnya mereka tahu adanya perselisihan yang masyhur sejak dahulu. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan bagaimana pandangan ulama tentang masalah Isbal ?


B.     Pengertian Secara Bahasa dan Istilah
Isbal secara bahasa bermakna إرخاء الشيء , yaitu menurunkan sesuatu. Seperti kalimat أسبلت السحابة ماءها إذا أمطرت (awan menurunkan airnya jika hujan, dan أسبلت العين دمعها إذا جرى (mata menurunkan air matanya jika mengalir).
Secara terminologi, menurut Ali Jumu’ah isbal bermakna seseorang yang  memanjangkan pakaian dan menjulurkannya sampai ke tanah, atau menurunkan pakaiannya dari atas kepalanya.[1]
C.     Takhrij Hadis
Hadis pertama
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ[2]
Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka.

Setelah ditakhrij dengan metode atraf, menggunakan kitab Mausu’at al-Atraf. Hadis yang mempunyai matan yang mirip, selain ada di dalam sahih al-Bukhari juga terdapat di dalam sunan al-Nasa’i, kitab ke-8 bab ke-207,[3] Musnad Ahmad, hadis ke-9934.[4]

Hadis kedua.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا[5]
           
Allah tidak akan melihat pada hari kiamat nanti orang-orang yang menurunkan kain sarungnya karena sombong.

Setelah ditakhrij dengan metode atraf, menggunakan kitab mau’su’at al-Atraf.  Hadis yang mempunyai kesamaan matan tersebut, selain di sahih al-Bukhari, juga terdapat di Muwatta Malik, kitab libas, hadis ke-1666.[6]

Hadis ketiga
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ يُخْبِرُونَهُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kainnya karena sombong

Setelah ditakhrij dengan metode athraf, menggunakan mau’su’at al-Atraf. Hadis tersebut selain ada di sahih al-Bukhari, juga terdapat di dalam Sahih Muslim, kitab Libas bab 9 nomor 42, sunan al-Tirmidzi hadis ke 1730.[7]

Hadis keempat

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُدْرِكٍ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ خَرَشَةَ بْنِ الْحُرِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

Ada  tiga  golongan  yang  tidak  akan  dilihat  oleh Allah  hari  kiamat,  tidak  dilihat  dan  tidak  disucikan (dari  dosa)  serta mendapatkan  azab  yang  sangat
pedih, Rasulullah saw. mengulangi sabda beliau sebanyak tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata:Sungguh mereka adalah manusia-manusia gagal dan merugi! Siapa mereka itu, ya Rasulullah?Maka jawab beliau: yaitu  pelaku  Isbal  (musbil),  pengungkit pemberian  dan  orang  yang  menjual  barang dagangannya  dengan  sumpah  palsu

Dalam kegiatan takhrij ini, penulis menggunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzi al-Hadîts al-Nabawî. penulis melakukan pencarian dengan Kata yang pertama penulis gunakan adalah “مسبل” dan dari penelusuran tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut: Sahih Muslim kitab al-Iman bab ke-171, Sunan Abu Daud kitab Libas bab ke-25, Sunan Al-Nasa’I kitab buyu’ bab ke-5 dan kitab zakat hadis ke-69, Sunan al-Darimi kitab buyu’ bab ke-63, dan Musnad Ahmad juz 5 halaman 148,158, 162,168,dan 178. [8]

Hadis kelima

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، حَدَّثَنَا أَبَانُ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّي مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ ، فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ جَاءَ ، ثُمَّ قَالَ : اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ ، فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ جَاءَ ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ ، فَقَالَ : إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ

Dalam kegiatan takhrij ini, penulis menggunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzi al-Hadîts al-Nabawî. penulis melakukan pencarian dengan Kata yang pertama penulis gunakan adalah “مسبل” dan dari penelusuran tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut: Sunan Abu Daud kitab Libas bab ke-25, dan Musnad Ahmad juz 5 halaman 279, juz 4 halaman 67. [9]

Hadis Keenam


حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dalam kegiatan takhrij ini,  penulis menggunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzi al-Hadîts al-Nabawî. penulis melakukan pencarian dengan Kata yang pertama penulis gunakan adalah خيل” dan dari penelusuran tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut: Sahih al-Bukhari kitab Fadhail al-Shabah bab ke-5, dan Sunan Abu Daud kitab Libas bab ke-25.[10]


D.    Mufradat

المسبل ازاره هو الذي يتطول ثوبه ويرسله الي الارض اذا مشى. وانما يفعل ذلك كبرا و اختيالا. [11]
Musbil izâra adalah orang yang memanjangkan pakaiannya dan menyeretnya ke tanah ketika berjalan. Sesungguhnya  dia lakukan hal itu karena sombong.
خيلاء هو الكبر و العجب.[12]
Khuyala’ adalah sombong dan berbangga-bangga.
بطرا هو الطغيان عند النعمة و طول الغنى[13]  
Bathar adalah sewenang-wenang ketika mendapatkan nikmat dan panjang kekayaan.

لَا يُكَلِّمُهُمْ
Maksudnya adalah Allah berpaling dari mereka.[14]
وَلَا يَنْظُرُ
Maksudnya adalah Allah tidak ridha kepada mereka
َلَا يُزَكِّيهِم
Maksudnya adalah Allah tidak mengampuni dosa-dosa mereka dan tidak memuji mereka.
ْالْمَنَّانُ
Maksudnya adalah orang yang menyebutkan kebaikan dengan menyakiti orang yang diberi.
لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ
Maksudnya adalah Nabi menyuruh seorang laki-laki tersebut untuk mengulangi wudhu, agar wudhu menjadi penghapus karena dosa dari isbal dan menyeret sarung ke tanah karena sombong. Karena bersuci dapat menghapus dosa. Kemungkinan Nabi menyuruhnya untuk mengulangi wudhu karena ada kesombongan di dalamnya. Bukan menyuruhnya untuk mengulangi salat, karena yang ia lakukan adalalah salat sunnah. [15]
al-Minawi berkata: ”Tidak dapat pahala seorang laki-laki atas shalatnya yang menurunkan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya karena sombong”.[16]
Ibnu’Alan mengatakan :
”Maksud sabda Rasulullah saw, ”lâ yaqbal” adalah tidak dapat menghapuskan dosanya dan tidak suci hatinya dari dosa, meskipun gugur tuntutan karenanya.[17]
A.    Pendapat Ulama
1.      Ulama yang membolehkan
Kelompok ini mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq), sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyid­-nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad (dalil yang global mesti dibawa/dipahami kepada dalil yang mengikatnya/mengkhususkannya). Berikut ini beberapa pendapat ulama yang membolehkan Isbal, di antaranya:
Abu Hanifah berkata sebagaimana dikutip oleh Ibnu Muflih Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.[18] 
Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:

وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ
Dalam satu riwayat Hanbal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam Ahmad).” Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan.[19]
Ibnu Taimiyah berpendapat sebagaimana dikutip oleh Ibn Muflih juga dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.[20]” 
Menurut Arwanie Faishal, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, berpendapat bahwa praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ

Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka

Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah saw bersabda,

 
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan. 
Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan. Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.
Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.
Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.[21]
2.      Ulama yang memakruhkan
Kelompok ini adalah kelompok mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong). Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram. Berikut ini beberapa ulama yang memakruhkan, di antaranya:
Imam Al Nawawi berkata:
وَأَنَّهُ لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا
وَقَالَ النَّوَوِيّ : الْإِسْبَال تَحْت الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق بَيْن الْجَرّ لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ : وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ يَكُون الْإِزَار إِلَى نِصْف السَّاق ، وَالْجَائِز بِلَا كَرَاهَة مَا تَحْته إِلَى الْكَعْبَيْنِ ، وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ، لِأَنَّ الْأَحَادِيث الْوَارِدَة فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة فَيَجِب تَقْيِيدهَا بِالْإِسْبَالِ لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى
Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong maka itu tanzihKarena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika disertai khuyala (sombong). Selesai.” [22]
Ibnu Qudamah, salah satu ulama dari kalangan madzhab Hanbali, memasukkan isbal ke dalam hal-hal yang makruh dalam salat, sebagaimana ia berkata:
وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الْإِزَارِ . فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ
Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi saw. memerintahkan menaikannya. Tetapi, jika isbal dengan sombong maka haram.[23]
Al Zarqani, salah satu ulama dari kalangan madzhab Maliki, berpendapat:
وَفِي الْمَوَاهِبِ : مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيل الْخُيَلاَءِ فَلاَ شَكَّ فِي تَحْرِيمِهِ ، وَمَا كَانَ عَلَى طَرِيقِ الْعَادَةِ فَلاَ تَحْرِيمَ فِيهِ ، مَا لَمْ يَصِل إِلَى جَرِّ الذَّيْل الْمَمْنُوعِ مِنْهُ . وَنَقَل الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنِ الْعُلَمَاءِ كَرَاهَةَ كُل مَا زَادَ عَلَى الْعَادَةِ فِي اللِّبَاسِ لِمِثْل لاَبِسِهِ فِي الطُّول وَالسِّعَةِ
Disebutkan dalam Al Mawahib: apa saja dalam hal ini yang termasuk dilakukan dengan cara sombong maka tak ragu lagi haramnya, dan apa saja yang dilakukan karena itu adalah hal yang telah menjadi adat maka tidak haram, selama tidak sampai menjulurkan ujung yang dilarang. Al Qadhi ‘Iyadh menukil dari para ulama bahwa dimakruhkan setiap tambahan yang melebihi kebiasaan dalam pakaian, semisal pakaian yang melebihi dalam panjang dan lebarnya.[24] 
Sedangkan Yusuf al-Qaradhawi, salah satu ulama kontemporer, berpendapat bahwa perbuatan memanjangkan atau menjulurkan pakaian tanpa suatu tujuan yang tercela paling hanya termasuk hal yang makruh. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa yang sangat penting oleh agama adalah niat serta motivasi yang berada di balik suatu perbuatan lahiriah. Dan yang sangat ditentang disini adalah masalah kesombongan, keangkuhan, kebanggaan diri, dan sebagainya, yang semua itu termasuk penyakit-penyakit hati dan penyimpangan kejiwaan, yang tak seorang pun akan masuk surga apabila di dalam dirinya bersemayam perasaan seperti itu, walaupun hanya sebesar zarrah.[25]
3.      Ulama yang mengharamkan
Kelompok ini berpendapat bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong atau tidak, dan dengan sombong keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap haram dan Allah Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (musbil). Kelompok ini memahaminya sesuai zahirnya hadits.
Ibnu Al ‘Utsaimin menyebutkan isbal dalam shalat adalah maksiat dan shalatnya tidak sah. Katanya:
وأما المحرَّم لوصفه: فكالثوب الذي فيه إسبال، فهذا رَجُل عليه ثوب مباح من قُطْنٍ، ولكنَّه أنزله إلى أسفلَ من الكعبين، فنقول: إن هذا محرَّم لوَصْفه؛ فلا تصحُّ الصَّلاة فيه؛ لأنه غير مأذونٍ فيه، وهو عاصٍ بِلُبْسه، فيبطل حُكمه شرعاً، ومن عَمِلَ عملاً ليس عليه أمرُنا فهو رَدٌّ.
Ada pun hal yang diharamkan menurut sifatnya adalah seperti pakaian yang menjulur, dia adalah seorang yang memakai pakaian katun yang mubah, tetapi dia menurunkannya sampai melewati dua mata kaki. Maka kami katakan: ini adalah diharamkan menurut sifatnya, dan tidak sah shalatnya, karena itu tidak diizinkan, dan termasuk maksiat dengan pakaiannya itu, dan secara syar’i hukumnya adalah batal, dan barang siapa yang beramal yang bukan termasuk perintah kami maka itu tertolak. [26]
            Abdul Aziz Ibn Baz mengatakan:
Isbal pada kaum laki-laki umumnya terjadi pada celana, sarung, dan gamis. Oleh karena itu siapa saja yang hendak mengerjakan salat harus memperhatikan pakaiannya. Apabila yang dikenakannya kepanjangan, maka segeralah digulung. Namun, tidak semua orang yang berbuat isbal dapat dinyakatan sombong. Karena terkadang hal ini dilakukan tanpa sengaja, hingga dia pun langsung menggulungnya ketika diingatkan; dan kondisi demikian tentu dapat dimaklumi.
Adapun orang yang sengaja memanjangkan pakaiannya melewati mata kaki baik saat mengenakan sarung, celana, panjang, ataupun gamis maka dia terkena ancaman yang ditegaskan dalam hadis Nabi saw. apa pun alasan pelakunya tidak diterima, sebab hadis yang melarang isbal tersebut bersifat umum baik lafadz, makna, maupun maksudnya.[27]
Ketika ditanya oleh seseorang:”Sahkah bermakmum kepada imam yang dikenal sebagai pelaku bid’ah dan pelaku Isbal? Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz menjawab sebagai berikut:“Ya, sah.  Tidak mengapa salat dibelakang pelaku bid’ah, pelaku isbal, ataupun pelaku maksiat lainnya. Demikianlah menurut pendapat yang sahih dari dua pendapat para ulama. Dengan catatan, selama bid’ah itu tidak mengakibkan pelakunya kafir. Apabila bid’ahnya mengarah kepada kekufuran, seperti bid’ah Jahmiyah, atau apa saja yang dapat mengeluarkan seorang dari Islam, maka tidak sah salat yang bermakmum kepadanya.
Meskipun demikian, pihak yang bertanggung  jawab dalam penunjukkan imam masjid diharuskan memilih imam salat yang diketahui tidak suka berbuat bid’ah dan kefasikan, serta mempunyai reputasi yang baik.
Dalam hal ini, Isbal merupakan perbuatan maksiat yang wajib ditinggalkan dan dijauhi. Pakaian apapun seperti sarung, gamis, dan celana panjang, dihukumi sama dengan sarung. Jika seseorang berbuat isbal pada sarung atau pakaian yang lain karena sombong, niscaya dosanya lebih besar lagi. Bahkan dia telah mendekati hukuman yang disegerakan oleh Allah . seperti sabda Nabi :”Siapa orang yang memanjangkan pakaiannya melewati mata kaki karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Maka dari itu, setiap muslim harus benar-benar menjauhi segala yang diharamkan oleh Allah, baik isbal ataupun maksiat lain. [28]
Apakah memakai kain di bawah mata kaki (isbal) membatalkan shalat?
Untuk menetapkan bahwa sesuatu itu membatalkan shalat, tentu diperlukan dalil-dalil agama yang menerangkannya. Sejauh ini kita belum menemukan dalil, baik al-Qur’an maupun hadits, ataupun keterangan ulama yang menjelaskan bahwa memakai kain di bawah mata kaki dapat membatalkan shalat. Sedangkan hukum menggunakan kain di bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah hanya makruh dan keharamannya hanya apabila dengan sikap sombong, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kalaupun kita berpendapat bahwa isbal tersebut adalah haram (sekali lagi, ini seandainya), ini juga belum tentu menunjukkan bahwa isbal tersebut dapat membatalkan shalat. Banyak sekali kasus dalam fiqh Islam dimana perbuatan haram tidak membatalkan shalat seperti haram berwudhu’ dengan air rampasan, namun wudhu’nya sah.[29] dan shalat pada tempat yang dirampas.[30] Hal ini karena haram tidak identik dengan tidak sah. Bisa saja sesuatu perbuatan haram, tetapi ia sah. Karena itu, dalam ilmu ushul fiqh ada pembahasan khusus tentang apakah larangan (haram atau makruh) dapat menjadikan sesuatu fasid (tidak sah)?Jawabannya sebagai berikut :
Zakariya al-Anshari mengatakan dalam kitab Ghayat al- Wushul, sebagai berikut :
والأصح ان مطلق النهى ولو تنزيها للفساد شرعا فى المنهى عنه ان رجع النهى فيما ذكر اليه أو الى جزئه أو الى لازمه أوجهل مرجعه
Artinya : Menurut pendapat yang lebih shahih mutlaq Nahi (larangan) meskipun larangan tersebut makruh tanzih merupakan petunjuk kepada fasid (tidak sah) yang dilarang itu pada syara’, jika larangan itu kembali kepada dirinya ( ’ainnya), kembali kepada juzu’nya, atau kembali kepada lazimnya ataupun tidak diketahui tempat kembalinya.[31]
Penjelasannya sebagai berikut :
 Larangan dapat menjadi petunjuk kepada tidak sah yang dilarang itu apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
a.       Larangan itu kembali kepada diri (’ain) yang dilarang, seperti larangan shalat dan puasa atas orang yang berhaid. Alasan pelarangannya ini adalah karena shalat dan puasa disyaratkan suci dari haid. Dengan demikian, alasan pelarangannya kembali kepada diri shalat dan puasa itu sendiri.
b.       Larangan itu kembali kepada juzu’ yang dilarang, seperti seperti larangan menjual buah-buahan yang belum jadi buah, masih dalam bentuk bunga melekat di batangnya. Alasan larangan ini karena belum ada benda yang dijual (salah satu rukun jual beli, yakni juzu’ akad jual beli)
c.       Larangan itu kembali kepada lazim dari yang dilarang (sesuatu dimana yang dilarang itu tidak dapat lepas darinya), seperti larangan menjual satu dirham dengan harga dua dirham. Alasan pelarangannya karena tambahan yang lazim dengan sebab disyaratkan pada akad. Dan seperti shalat pada waktu makruh, dimana larangannya adalah karena waktu fasid yang lazim bagi shalat dengan mengerjakannya dalam waktu tersebut. Ini berbeda dengan mengerjakan shalat pada tempat makruh seperti kamar mandi, maka tidak menjadikan shalatnya tidak sah, karena tempat makruh tidak lazim bagi shalat dengan sebab mengerjakannya pada tempat itu. Hal ini dikarenakan dimungkinkan kamar mandi itu dirobah menjadi bentuk lain seperti mesjid.
d.      Apabila tidak diketahui tempat kembalinya, maka larangan ini juga dapat menyebabkan tidak sah yang dilarang itu.
Adapun larangan yang tidak termasuk dalam kriteria tersebut di atas, maka tidak dapat mengakibatkan batal yang dilarang itu, contohnya antara lain :
a.       Wudhu’ dengan air rampasan, dimana larangannya karena menghilangkan harta orang lain dengan sengaja. Wudhu’nya tetap sah, karena larangannya dilihat dari hal diluar wudhu’ dan tidak lazim baginya.
b.      Jual beli pada waktu azan Jum’at, jual beli tersebut haram, namun akadnya tetap sah. Hal ini karena alasan larangan jual beli tersebut adalah menghilangkan kesempatan shalat Jum’at. Sedangkan menghilangkan kesempatan shalat Jum’at dapat juga terjadi bukan karena jual beli sebagaimana jual beli dapat terjadi tanpa ada menghilangkan kesempatan shalat Jum’at.
Penjelasan di atas beserta contoh-contohnya merupakan rangkuman dari kitab Ghayatul Wushul  dan dalam Jam’ul Jawami’ karya al-Subki dan syarahnya karya Jalaluddin al-Mahalli.[32] Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab ushul fiqhnya, Syarah Warqaat menyebut juga kedua contoh di atas sebagai contoh larangan karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi yang dilarang. Sedikit sebelumnya beliau mengatakan :
”Apabila larangan itu karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi yang dilarang, maka larangan itu tidak menunjuki kepada fasid.”[33]

          Nah sekarang bagaimana dengan masalah memakai kain yang menutup mata kaki (isbal), seandainya isbal tersebut dilarang, apakah larangan itu dapat mengakibatkan batal shalat apabila dipakai dalam shalat ?
Jawab :
Seandainya kita berpendapat dilarang shalat dengan memakai isbal, maka memakai isbal tersebut tidak mengakibatkan tidak sah shalat. Karena larangan shalat dengan memakai isbal adakalanya karena sombong, kuatir dapat jatuh dalam sombong atau kuatir kena najis. Ketiga-tiga alasan tersebut tidak termasuk dalam katagori ’ain shalat, bagian shalat atau sesuatu yang lazim dari shalat, ataupun sesuatu yang tidak diketahui tempat kembali larangannya, tetapi merupakan suatu sifat eksternal yang berada diluar shalat yang tidak lazim bagi shalat atau dalam istilah ushul disebut :
لآمر خارج غير لازم له

Disebut tidak lazim bagi shalat, karena sifat sombong, kuatir jatuh dalam sombong dan kuatir kena najis dapat berwujud tanpa shalat dan juga sebaliknya, shalat dapat berwujud tanpa ada sifat-sifat tersebut.
Dengan demikian, larangan shalat dengan isbal tidak mengakibatkan tidak sah shalat, sebagaimana tidak mengakibatkan tidak sah wudhu’ dengan air rampasan dengan sebab dilarangnya dan tidak mengakibatkan tidak sah jual beli pada waktu azan Jum’at dengan sebab dilarangnya.
Ada yang mengatakan, batal shalat apabila seseorang menggunakan kain yang dapat menutup mata kaki (isbal) dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, beliau berkata :
بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنَّ يَتَوَضَّأَ فَقَالَ إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’ ? maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang ujung kain sarungnya menutup mata kaki (isbal)(H.R. Abu Daud)[34]
Bantahan
1. Hadits ini dalam kitab Riyadh al- Shalihin berbunyi :
بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنَّ يَتَوَضَّأَ ثم سكت عنه ؟ َقَالَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ
Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’, kemudian engkau diam?, maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud)[35]
Imam al-Nawawi mengatakan dalam Riyadhusshalihin, hadits ini diriwayat oleh Abu Daud atas syarat Muslim.[36] Namun al-Manawi, setelah menyebut perkataan Imam al-Nawawi di atas, memengatakan :
”Tetapi al-Munziry telah menganggap cacat hadits ini. Beliau mengatakan, dalam sanadnya ada Abu Ja’far seorang penduduk Madinah yang tidak dikenal.”[37]
2. Seandainya kita mengatakan bahwa hadits ini merupakan hadits shahih, maka hadits ini harus dipahami dalam konteks sombong dan takabur sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan hukum isbal di atas berikut dalil-dalilnya, karena hadits ini datang dalam lafazh mutlaq. Karena itu, harus di pahami secara muqayyad sehingga tidak bertentangan dengan hadits-hadits muqayyad yang sudah disebut sebelum ini sebagaimana penjelasan para ulama yang telah disebutkan.
3. Berdasarkan hadits ini tidak dapat dipahami bahwa shalat bisa batal karena menggunakan isbal. Hal ini karena sebagai berikut :
a.       Rasulullah saw memerintah mengulangi berwudhu’ dalam hadits ini, bisa jadi untuk menghapuskan dosanya, karena dia telah melakukan isbal yang diharamkan yaitu isbal dengan sikap sombong, sesuai dengan hadits hasan secara marfu’, berbunyi :
لا يسبغ عبد الوضوء إلا غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر
Artinya : Seorang hamba tidak akan menyempurnakan wudu’nya kecuali diampunkan dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.
Rasulullah saw tidak memerintah mengulangi shalat, karena shalatnya sah, tetapi tidak diterima sebagaimana lanjutan haditsnya : ” Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal).”
Dan bisa jadi Rasulullah saw memerintah mengulangi berwudhu’ karena ada sebagian angota wudhu’ yang tidak sah wudhu’nya dan tidak memerintah mengulangi shalat, karena shalat itu adalah shalat sunnat. Penjelasan dengan dua kemungkinan ini telah dikemukakan oleh Ibnu ’Alan, seorang ahli hadits terkemuka dari kalangan Syafi’iyah dalam kitab beliau, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin.[38]
Berdasarkan keterangan ini, maka dari hadits ini tidak dapat dipahami bahwa isbal dapat membatalkan shalat.
b.      Adapun sabda Rasulullah saw, tidak diterima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal), pengertiannya adalah tidak dapat pahala atas shalatnya, sebagaimana sudah dijelaskan oleh al-Manawi dalam kitabnya dalam mengomentari hadits ini, beliau mengatakan :
”Tidak dapat pahala seorang laki-laki atas shalatnya yang menurunkan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya karena sombong.”[39]
Ibnu’Alan mengatakan :
”Maksud sabda Rasulullah SAW, ”la yaqbal” adalah tidak dapat menghapuskan dosanya dan tidak suci hatinya dari dosa, meskipun gugur tuntutan karenanya.”[40]


4. Tidak diterima shalat pada sabda Rasulullah SAW riwayat Abu Daud di atas, yaitu :
وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal)

ini tidak berarti menunjukkan kepada batal shalat, bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan tidak diterima ibadah menjadi pentunjuk kepada sah ibadah itu sendiri, karena suatu ibadah yang tidak sah, sama dengan tidak ada sama sekali, maka bagaimana dapat dikatakan ibadah itu diterima atau tidak diterima. Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan, “nafi qabul” (tidak diterima), apakah itu membatalkan suatu ibadah atau tidak, tanpa ada tarjihnya. Sebagian ulama mengatakan nafi qabul sesuatu menjadi petunjuk kepada sah sesuatu, karena dhahir nafi kepada tidak ada pahala, bukan kepada tidak diperhitungkannya. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan menjadi petunjuk kepada fasid, dengan alasan dhahir nafi kepada tidak diperhitungkannya dan karena qabul dan sah saling melazimkan. Perbedaan pendapat ini telah disebut oleh Zakariya al-Anshari dalam kitab ushul fiqhnya, Ghayatul Wushul dan al-Subki dalam Jam’ul Jawami’ tanpa ada tarjih salah satunya. Al-‘Alamah al-Barmawi mengatakan :
Dua pendapat ini setara, tidak ada tarjih antara keduanya, karena pada satu kali, nafi qabul datang pada syara’ dengan makna nafi sah dan pada kali lain dengan makna nafi qabul serta wujud sah. Tidak ada tarjih ini juga dapat dipahami dari kalam Ibnu Daqiq al-‘Id.”[41]
Berikut ini tiga buah contoh nafi qabul bermakna tidak diterima serta sah yang disebut Syeikh Hasan al-‘Ithar dalam Hasyiah ‘ala Jam’ul Jawami’,[42] yaitu :
a. Sabda Nabi saw :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ فصدقه لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ يوما
Artinya : Barangsiapa yang mendatangi peramal dan menanyakan tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.(H.R. Muslim)
b. Sabda Nabi SAW :
إِذَا أَبَقَ الْعَبْدُ من مواليه لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ حتى يرجع اليهم
Artinya : ِِِApabila seorang hamba sahaya lari dari tuannya, maka tidak diterima shalatnya sehingga dia kembali kembali kepada tuannya.(H.R. Muslim)
c. Sabda Nabi SAW :
من شرب خمرا فسكر لم تقبل له صلاة أربعين صباحا
Artinya : Barangsiapa yang minum khamar dan dia mabuk karenanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari.(H.R. Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Adapun contoh nafi qabul bermakna tidak sah antara lain yang disebut oleh Zakariya al-Anshari dalam Ghayatul Wushul, [43]yakni :
لايقبل الله صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضأ
Artinya : Tidak diterima oleh Allah shalat salah seorang kamu apabila berhadats sehingga dia berwudhu’(H.R. Bukhari dan Muslim)


Berdasarkan uraian di atas, apabila ada nash syara’, baik al-Kitab maupun al-Sunnah yang mengandung nafi qabul (tidak diterima), maka tidak bisa secara serta merta dipahami sebagai tidak sah, tetapi untuk menentukan bahwa sesuatu itu tidak sah harus ada dalil lain yang menjelaskannya. Berdasarkan ini pula, maka dapat dipahami kenapa para ulama seperti al-Manawi dan Ibnu ‘Allan di atas menafsirkan nafi qabul shalat pada hadits tentang orang yang memakai isbal dengan makna tidak mendapat pahala dan tidak mengampuni dosanya, bukan dalam arti tidak sah.


Kesimpulan
1. Menjulurkan ujung kain yang dapat menutup mata kaki (isbal) dalam shalat tidak dapat membatalkan shalat sebagaimana dipahami oleh ulama bermazhab Syafi’i selama ini.
2. Nafi qabul shalat (tidak diterima shalat) tidak dapat secara serta merta menjadi petunjuk sebagai tidak sah shalat itu.


Daftar Pustaka
Al-Anshari, Zakariya . Ghayatul Wushul, (Semarang :Usaha Keluarga, t.th)
Al-Bukhârî, Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’îl. Sahîh al-Bukhâri, cet. Ke-1 (Beirut:Dar Ibn Katsir, 2002)
Al-Damyathi, Al-Bakri. I’anah al-Thalibin, (Semarang:Thaha Putra, t.th),  Juz. I
Al-‘Ithar, Hasan. Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut
Al-Jaziri, Ibn Atsir. Al-Nihayah fi Gharib al-Hadis (Riyadh:al-Maktabah al-Islamiyyah, t.t)
Al-Khin, Mustafa dan Mustafa al-Bugha, Nuzhat al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin (Beirut:Muassisah al-Risalah, 1987)
Al-Mahalli, Jalaluddin . Syarah Warqaat, Raja Murah, Pekalongan,
Al-Minawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II.
al-Qaradhawi, Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (USA:al-Ma’had al-Islami li al-Fikr, t.t)
Al- Shan’ani, Subulus Salam, (Mekah:Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi, 1960M-1379H)
Al-Subki dan al-Mahalli, Jam’ul Jawami’ dan Syarahnya, dicetak pada hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I
Al ‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih.  Syarhul Mumti’, Cet. 1, (Riyadh: Dar Ibnu Al Jauzi ,1422-1428H.) 
Al-Zarqani, Syarh ala al-Muwatta (Beirut:Dar ak-Kutub al-Ilmiyyah)
‘Ali Jumu’ah, al-Bayan al-Qawim (Kairo: t.p, t.t.)
A.J. Wensick,  Al-Mu’jam  Al-Mufahras Li alfâdz Hadîts Nabawî  (Leiden:Beirel, 1969),
Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II

Ibnu ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin, Maktabah Syamilah, Juz. VI.
Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4
Ibnu Qudamah,  Al Mughni Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah,(Beirut:Dar al-Kutub al-Arabi, t.th)
Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah,  (Riyadh: Darul ‘Ashimah, 1998 )
Salman, Masyhur Hasan. Akhthaul Mushallin, penerjemah:Abu Ihsan (Jakarta:Pustaka Imam al-Syafi’I, 2012)
Zaghlul, Abu Hajir Muhammad. Mausu’at al-Athraf (Beirut:Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t)
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,19855-lang,id-c,syariah-t,Haji+Amanat-p,3-.phpx




[1] ‘Ali Jumu’ah, al-Bayan al-Qawim(Kairo: t.p, t.t.), h. 104
[2] Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’îl Al-Bukhârî,  Sahîh al-Bukhâri, cet. Ke-1 (Beirut:Dar Ibn Katsir, 2002), h.1465, kitab al-libas, bab ma alfala min al-Ka’bait fawuwa fi al-Nar, hadis ke-5787
[3]  أخبرنا محمود بن غيلان قال حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة قال أخبرني سعيد المقبري وقد كان يخبر عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار. (حديث الصحيح عند الالباني)
Dalam riwayat al-Nasai yang lain melalui jalur Ismail Ibn Mas’ud melalui Khalid dari Hisyam dari Yahya dari Muhammad Ibn Ibrahim dari Abu Ya’qub terdapat perbedaan awal  matan, yaitu lafadz ما تحت الكعبين
Hadis dengan jalur ini dinilai sahih menurut Albani.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيَّ، يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّار. (إسناده صحيح على شرط الشيخين)

[5] Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’îl Al-Bukhârî,  Sahîh al-Bukhâri, cet. Ke-1, h.1465, kitab al-libas, bab man  jarra tsaubah min al-Khuyala’, hadis ke-5788
[6] Abu Hajir Muhammad Zaghlul, Mausu’at al-Athraf , juz 7, halaman 474. 
[7] Abu Hajir Muhammad Zaghlul, Mausu’at al-Athraf , juz 7, halaman 476.
[8] A.J. Wensick,  Al-Mu’jam  Al-Mufahras Li alfâdz Hadîts Nabawî , Juz 2, halaman 404
[9] A.J. Wensick,  Al-Mu’jam  Al-Mufahras Li alfâdz Hadîts Nabawî , Juz 2, halaman 404.
[10] A.J. Wensick,  Al-Mu’jam  Al-Mufahras Li alfâdz Hadîts Nabawî  (Leiden:Beirel, 1969), Juz 2, halaman 105
[13] Ibn Atsir al-Jaziri, Al-Nihayah fi Gharib al-Hadis  juz 1, h. 136
[14] Mustafa al-khin dan Mustafa al-Bugha, Nuzhat al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin (Beirut:Muassisah al-Risalah, 1987), h.632
[15] Mustafa al-khin dan Mustafa al-Bugha, Nuzhat al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin, h.634
[16] Al-Minawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
[17] Ibnu ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 85

[18] Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. 
[19] Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. 
[20]  Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah,  (Riyadh: Darul ‘Ashimah, 1998 ), Hal. 361. Cet. 1
[21] http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,19855-lang,id-c,syariah-t,Haji+Amanat-p,3-.phpx
[22] Al- Shan’ani, Subulus Salam, (Mekah:Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi, 1960M-1379H),  Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4
[23] Ibnu Qudamah, Al MughniAl Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah,(Beirut:Dar al-Kutub al-Arabi, t.th) Juz. 3, Hal. 21
[24] Al-Zarqani, Syarh ala al-Muwatta (), juz 1, h. 273.
[25] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (USA:al-Ma’had al-Islami li al-Fikr, t.t) h. 111
 [26] Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, Cet. 1, (Riyadh: Dar Ibnu Al Jauzi ,1422-1428H.)  juz 2, h. 154.
[27] Pernyataan Abdul Aziz Ibn Baz lihat Masyhur Hasan Salman, Akhthaul Mushallin, penerjemah:Abu Ihsan (Jakarta:Pustaka Imam al-Syafi’I, 2012), 41-42.
[28] Masyhur Hasan Salman, Akhthaul Mushallin, penerjemah:Abu Ihsan (Jakarta:Pustaka Imam al-Syafi’I, 2012), 43-44
[29] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, (Semarang:Thaha Putra, t.th),  Juz. I, Hal. 43              
[30] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, (Semarang :Usaha Keluarga, t.th), Hal. 30

[31] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Hal.68

[32] Al-Subki dan al-Mahalli, Jam’ul Jawami’ dan Syarahnya, dicetak pada hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 393-395
[33] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah Warqaat, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 10-11
[34] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 243, No. Hadits : 63
[35] Al-Nawawi, Riyadhushshalihin, Darun Ibnu Jauzi, Saudi Arabiya, Hal. 323
[36] Al-Nawawi, Riyadhushshalihin, Darun Ibnu Jauzi, Saudi Arabiya, Hal. 323
[37] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348

[38] Ibnu ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin,Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 84

[39] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
               
[40] Ibnu ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin,Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 85
[41] Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 505

[42] Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 504-505
[43] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Hal. 69