A. Pendahuluan
Seiring dengan arus
kebangkitan Islam, maka kesadaran untuk berislam secara kaffah menjadi hal yang
niscaya, baik oleh muslim dan muslimah. Semangat mengamalkan sunah nabi adalah
bagian dari cakupan kekaffahan pemahaman Islam seseorang. Termasuk keinginan
sebagian umat Islam memendekkan pakaian di atas mata kaki bahkan setengah
betis. Tentu tidak lupa juga memanjangkan jenggot, memendekkan kumis, serta
menutup aurat secara sempurna bagi para muslimahnya.
Fenomena ini harus
disambut gembira dan diberikan dukungan, sebagai pengimbang atas betapa kuatnya
budaya-budaya di luar Islam, Selain memang itu sebagai syi’ar Islam. Namun, di
tengah umat Islam, bukan bebarti tanpa
masalah internal. Sering kita melihat sesama umat Islam saling menghujat hanya
karena perselisihan pemahaman fiqih semata, termasuk isbal (pelakunya
disebut musbil) ini. Biasanya sikap keras
dilancarkan oleh pihak yang memahami bahwa isbal itu haram
walaupun tanpa rasa sombong. Sementara pihak yang diserang pun tentunya
memberikan pembelaan dengan berbagai hujjah yang mereka miliki. Akhirnya, bukan
masalah ini saja dan ini bukan yang terakhir, Umat Islam pun berputar-putar
pada masalah yang memang sejak lama para ulama berselisih, mereka hanyalah
melakukan siaran ulang saja. Sementara, banyak amal-amal pokok dan produktif
menjadi tertinggal.
Seharusnya tidak boleh
ada sikap keras dalam masalah isbal ini, dan seharusnya mereka tahu adanya
perselisihan yang masyhur sejak dahulu. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan
bagaimana pandangan ulama tentang masalah Isbal ?
B. Pengertian Secara Bahasa dan Istilah
Isbal secara bahasa bermakna إرخاء الشيء , yaitu menurunkan sesuatu. Seperti kalimat أسبلت السحابة ماءها إذا أمطرت (awan menurunkan airnya jika
hujan, dan أسبلت العين دمعها إذا جرى (mata menurunkan air matanya jika mengalir).
Secara terminologi, menurut
Ali Jumu’ah isbal bermakna seseorang yang memanjangkan pakaian dan menjulurkannya sampai
ke tanah, atau menurunkan pakaiannya dari atas kepalanya.[1]
C. Takhrij Hadis
Hadis pertama
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ
الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ[2]
Apa saja yang
melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka.
Setelah ditakhrij dengan metode atraf, menggunakan kitab Mausu’at al-Atraf. Hadis yang
mempunyai matan yang mirip, selain ada di dalam sahih al-Bukhari juga terdapat
di dalam sunan al-Nasa’i, kitab ke-8 bab ke-207,[3]
Musnad Ahmad, hadis ke-9934.[4]
Hadis kedua.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا[5]
Allah tidak akan melihat pada hari
kiamat nanti orang-orang yang menurunkan kain sarungnya karena sombong.
Setelah ditakhrij dengan metode atraf, menggunakan
kitab mau’su’at al-Atraf. Hadis yang mempunyai kesamaan matan
tersebut, selain di sahih al-Bukhari, juga terdapat di Muwatta Malik,
kitab libas, hadis ke-1666.[6]
Hadis ketiga
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي
مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ
يُخْبِرُونَهُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ
ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
Allah tidak akan melihat kepada
orang yang menurunkan kainnya karena sombong
Setelah ditakhrij dengan metode athraf, menggunakan
mau’su’at al-Atraf. Hadis tersebut selain ada di sahih al-Bukhari, juga
terdapat di dalam Sahih Muslim, kitab Libas bab 9 nomor 42, sunan
al-Tirmidzi hadis ke 1730.[7]
Hadis keempat
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُدْرِكٍ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ
خَرَشَةَ بْنِ الْحُرِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ
وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
Ada
tiga golongan yang
tidak akan dilihat
oleh Allah hari kiamat,
tidak dilihat dan
tidak disucikan (dari dosa)
serta mendapatkan azab yang
sangat
pedih,
Rasulullah saw. mengulangi sabda beliau sebanyak tiga kali, sehingga Abu Dzar
berkata:Sungguh mereka adalah manusia-manusia gagal dan merugi! Siapa mereka
itu, ya Rasulullah?Maka jawab beliau: yaitu
pelaku Isbal (musbil),
pengungkit pemberian dan orang
yang menjual barang dagangannya dengan
sumpah palsu
Dalam kegiatan takhrij ini, penulis menggunakan kitab Al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Fâzi al-Hadîts al-Nabawî. penulis melakukan
pencarian dengan Kata yang pertama penulis gunakan adalah “مسبل” dan dari penelusuran tersebut
mendapatkan hasil sebagai berikut: Sahih Muslim kitab al-Iman bab
ke-171, Sunan Abu Daud kitab Libas bab ke-25, Sunan Al-Nasa’I kitab buyu’
bab ke-5 dan kitab zakat hadis ke-69, Sunan al-Darimi kitab buyu’
bab ke-63, dan Musnad Ahmad juz 5 halaman 148,158, 162,168,dan 178. [8]
Hadis kelima
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ ،
حَدَّثَنَا أَبَانُ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ، عَنْ عَطَاءِ
بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّي
مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اذْهَبْ
فَتَوَضَّأْ ، فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ جَاءَ ، ثُمَّ قَالَ : اذْهَبْ
فَتَوَضَّأْ ، فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ جَاءَ ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : يَا
رَسُولَ اللهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ ،
فَقَالَ : إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ
تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
Dalam kegiatan takhrij ini, penulis menggunakan kitab Al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Fâzi al-Hadîts al-Nabawî. penulis melakukan
pencarian dengan Kata yang pertama penulis gunakan adalah “مسبل” dan dari penelusuran tersebut
mendapatkan hasil sebagai berikut: Sunan Abu Daud kitab Libas bab ke-25,
dan Musnad Ahmad juz 5 halaman 279, juz 4 halaman 67. [9]
Hadis Keenam
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا
زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ
خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ
أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dalam kegiatan takhrij ini, penulis
menggunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzi al-Hadîts al-Nabawî.
penulis melakukan pencarian dengan Kata yang pertama penulis gunakan adalah “خيل” dan dari penelusuran tersebut
mendapatkan hasil sebagai berikut: Sahih al-Bukhari kitab Fadhail al-Shabah
bab ke-5, dan Sunan Abu Daud kitab Libas bab ke-25.[10]
D. Mufradat
المسبل ازاره هو الذي يتطول ثوبه ويرسله الي الارض اذا مشى. وانما يفعل ذلك
كبرا و اختيالا. [11]
Musbil izâra adalah orang yang memanjangkan pakaiannya dan menyeretnya ke tanah ketika
berjalan. Sesungguhnya dia lakukan hal
itu karena sombong.
خيلاء هو الكبر و العجب.[12]
Khuyala’ adalah sombong dan berbangga-bangga.
بطرا هو الطغيان عند النعمة و طول الغنى[13]
Bathar adalah sewenang-wenang ketika mendapatkan nikmat dan panjang kekayaan.
لَا يُكَلِّمُهُمْ
Maksudnya adalah Allah
berpaling dari mereka.[14]
وَلَا يَنْظُرُ
Maksudnya adalah Allah
tidak ridha kepada mereka
َلَا يُزَكِّيهِم
Maksudnya adalah Allah
tidak mengampuni dosa-dosa mereka dan tidak memuji mereka.
ْالْمَنَّانُ
Maksudnya adalah orang
yang menyebutkan kebaikan dengan menyakiti orang yang diberi.
لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ
Maksudnya adalah Nabi menyuruh
seorang laki-laki tersebut untuk mengulangi wudhu, agar wudhu menjadi penghapus
karena dosa dari isbal dan menyeret sarung ke tanah karena sombong.
Karena bersuci dapat menghapus dosa. Kemungkinan Nabi menyuruhnya untuk
mengulangi wudhu karena ada kesombongan di dalamnya. Bukan menyuruhnya untuk
mengulangi salat, karena yang ia lakukan adalalah salat sunnah. [15]
al-Minawi berkata: ”Tidak
dapat pahala seorang laki-laki atas shalatnya yang menurunkan ujung kain
sarungnya menutup mata kakinya karena sombong”.[16]
Ibnu’Alan mengatakan :
”Maksud sabda Rasulullah saw,
”lâ yaqbal” adalah tidak dapat menghapuskan dosanya dan tidak suci hatinya dari
dosa, meskipun gugur tuntutan karenanya.[17]
A. Pendapat Ulama
1. Ulama yang membolehkan
Kelompok ini mengatakan
bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq),
sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad).
Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat)
yang men-taqyid-nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya
adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad (dalil yang global mesti
dibawa/dipahami kepada dalil yang mengikatnya/mengkhususkannya). Berikut ini beberapa pendapat ulama
yang membolehkan Isbal, di antaranya:
Abu Hanifah berkata sebagaimana dikutip oleh Ibnu Muflih Dalam Al
Adab Asy Syar’iyyah:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ
رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ
وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا
؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
Berkata
pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa
Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar,
yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah
kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan
itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.[18]
Masih dalam Al
Adab Asy Syar’iyyah:
وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ
الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ
الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ
Dalam satu riwayat Hanbal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika
tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan
zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam
Ahmad).” Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan.[19]
Ibnu Taimiyah berpendapat
sebagaimana dikutip oleh Ibn Muflih juga dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ
وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih
untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan
tidak pula mengingkarinya.[20]”
Menurut Arwanie Faishal, Wakil
Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, berpendapat bahwa praktik memakai celana di
atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ
Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka
Dari hadits tersebut para
ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki.
Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki
jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga
didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah saw bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan.
Tentunya ini sesuai
dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di
bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan. Nah,
secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami
bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas
dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal
disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada
di tanah atau jalanan yang kita lewati.
Berdasarkan ketentuan
fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki,
tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana
kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau
mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.
Perlu direnungkan bahwa
berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau
etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat.
Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti
ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari
mulai pusar hingga lutut.[21]
2. Ulama yang memakruhkan
Kelompok ini adalah
kelompok mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang
membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong).
Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka
menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram. Berikut ini beberapa ulama yang
memakruhkan, di antaranya:
Imam Al Nawawi berkata:
وَأَنَّهُ لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ
، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي
تَقْيِيدهَا
وَقَالَ النَّوَوِيّ : الْإِسْبَال تَحْت الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ
كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى
الْفَرْق بَيْن الْجَرّ لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ :
وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ يَكُون الْإِزَار إِلَى نِصْف السَّاق ، وَالْجَائِز بِلَا
كَرَاهَة مَا تَحْته إِلَى الْكَعْبَيْنِ ، وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ
مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ،
لِأَنَّ الْأَحَادِيث الْوَارِدَة فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة
فَيَجِب تَقْيِيدهَا بِالْإِسْبَالِ لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى
Isbal dibawah
mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka
makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan
antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia
berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja
tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata
kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak
sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada
yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka
wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang
dimaksud jika disertai khuyala (sombong). Selesai.” [22]
Ibnu Qudamah, salah satu ulama dari kalangan madzhab Hanbali,
memasukkan isbal ke dalam hal-hal yang makruh dalam salat, sebagaimana
ia berkata:
وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الْإِزَارِ .
فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ
Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain
sarung, dan celana panjang, karena Nabi saw. memerintahkan
menaikannya. Tetapi, jika isbal dengan sombong maka haram.[23]
Al –Zarqani, salah satu ulama dari kalangan
madzhab Maliki, berpendapat:
وَفِي
الْمَوَاهِبِ : مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيل الْخُيَلاَءِ فَلاَ شَكَّ فِي
تَحْرِيمِهِ ، وَمَا كَانَ عَلَى طَرِيقِ الْعَادَةِ فَلاَ تَحْرِيمَ فِيهِ ، مَا
لَمْ يَصِل إِلَى جَرِّ الذَّيْل الْمَمْنُوعِ مِنْهُ . وَنَقَل الْقَاضِي عِيَاضٌ
عَنِ الْعُلَمَاءِ كَرَاهَةَ كُل مَا زَادَ عَلَى الْعَادَةِ فِي اللِّبَاسِ
لِمِثْل لاَبِسِهِ فِي الطُّول وَالسِّعَةِ
Disebutkan dalam Al Mawahib: apa saja dalam hal ini yang termasuk
dilakukan dengan cara sombong maka tak ragu lagi haramnya, dan apa saja yang
dilakukan karena itu adalah hal yang telah menjadi adat maka tidak haram,
selama tidak sampai menjulurkan ujung yang dilarang. Al Qadhi ‘Iyadh menukil
dari para ulama bahwa dimakruhkan setiap tambahan yang melebihi kebiasaan dalam
pakaian, semisal pakaian yang melebihi dalam panjang dan lebarnya.[24]
Sedangkan Yusuf
al-Qaradhawi, salah satu ulama kontemporer, berpendapat bahwa perbuatan
memanjangkan atau menjulurkan pakaian tanpa suatu tujuan yang tercela paling
hanya termasuk hal yang makruh. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa yang sangat
penting oleh agama adalah niat serta motivasi yang berada di balik suatu
perbuatan lahiriah. Dan yang sangat ditentang disini adalah masalah
kesombongan, keangkuhan, kebanggaan diri, dan sebagainya, yang semua itu
termasuk penyakit-penyakit hati dan penyimpangan kejiwaan, yang tak seorang pun
akan masuk surga apabila di dalam dirinya bersemayam perasaan seperti itu,
walaupun hanya sebesar zarrah.[25]
3.
Ulama yang
mengharamkan
Kelompok ini berpendapat
bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong atau tidak, dan dengan sombong
keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap
haram dan Allah Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (musbil).
Kelompok ini memahaminya sesuai zahirnya hadits.
Ibnu Al ‘Utsaimin
menyebutkan isbal dalam shalat adalah maksiat dan shalatnya tidak sah. Katanya:
وأما المحرَّم لوصفه: فكالثوب الذي فيه إسبال، فهذا رَجُل عليه ثوب مباح من
قُطْنٍ، ولكنَّه أنزله إلى أسفلَ من الكعبين، فنقول: إن هذا محرَّم لوَصْفه؛ فلا
تصحُّ الصَّلاة فيه؛ لأنه غير مأذونٍ فيه، وهو عاصٍ بِلُبْسه، فيبطل حُكمه شرعاً،
ومن عَمِلَ عملاً ليس عليه أمرُنا فهو رَدٌّ.
Ada pun hal yang diharamkan menurut sifatnya adalah seperti pakaian yang
menjulur, dia adalah seorang yang memakai pakaian katun yang mubah, tetapi dia
menurunkannya sampai melewati dua mata kaki. Maka kami katakan: ini adalah
diharamkan menurut sifatnya, dan tidak sah shalatnya, karena itu tidak
diizinkan, dan termasuk maksiat dengan pakaiannya itu, dan secara syar’i
hukumnya adalah batal, dan barang siapa yang beramal yang bukan termasuk
perintah kami maka itu tertolak. [26]
Abdul Aziz Ibn Baz mengatakan:
Isbal pada kaum laki-laki
umumnya terjadi pada celana, sarung, dan gamis. Oleh karena itu siapa saja yang
hendak mengerjakan salat harus memperhatikan pakaiannya. Apabila yang
dikenakannya kepanjangan, maka segeralah digulung. Namun, tidak semua orang yang
berbuat isbal dapat dinyakatan sombong. Karena terkadang hal ini dilakukan
tanpa sengaja, hingga dia pun langsung menggulungnya ketika diingatkan; dan
kondisi demikian tentu dapat dimaklumi.
Adapun orang yang sengaja
memanjangkan pakaiannya melewati mata kaki baik saat mengenakan sarung, celana,
panjang, ataupun gamis maka dia terkena ancaman yang ditegaskan dalam hadis
Nabi saw. apa pun alasan pelakunya tidak diterima, sebab hadis yang melarang
isbal tersebut bersifat umum baik lafadz, makna, maupun maksudnya.[27]
Ketika ditanya oleh
seseorang:”Sahkah bermakmum kepada imam yang dikenal sebagai pelaku bid’ah dan
pelaku Isbal? Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz menjawab sebagai berikut:“Ya, sah. Tidak mengapa salat dibelakang pelaku bid’ah, pelaku isbal, ataupun pelaku maksiat lainnya.
Demikianlah menurut pendapat yang sahih dari dua pendapat para ulama. Dengan
catatan, selama bid’ah itu tidak mengakibkan pelakunya kafir. Apabila bid’ahnya
mengarah kepada kekufuran, seperti bid’ah Jahmiyah, atau apa saja yang dapat
mengeluarkan seorang dari Islam, maka tidak sah salat yang bermakmum kepadanya.
Meskipun demikian, pihak
yang bertanggung jawab dalam penunjukkan
imam masjid diharuskan memilih imam salat yang diketahui tidak suka berbuat
bid’ah dan kefasikan, serta mempunyai reputasi yang baik.
Dalam hal ini, Isbal
merupakan perbuatan maksiat yang wajib ditinggalkan dan dijauhi. Pakaian apapun
seperti sarung, gamis, dan celana panjang, dihukumi sama dengan sarung. Jika
seseorang berbuat isbal pada sarung atau pakaian yang lain karena sombong,
niscaya dosanya lebih besar lagi. Bahkan dia telah mendekati hukuman yang
disegerakan oleh Allah . seperti sabda Nabi :”Siapa orang yang memanjangkan
pakaiannya melewati mata kaki karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya
pada hari kiamat”. Maka dari itu, setiap muslim harus benar-benar menjauhi
segala yang diharamkan oleh Allah, baik isbal ataupun maksiat lain. [28]
Apakah memakai kain di
bawah mata kaki (isbal) membatalkan shalat?
Untuk menetapkan bahwa
sesuatu itu membatalkan shalat, tentu diperlukan dalil-dalil agama yang
menerangkannya. Sejauh ini kita belum menemukan dalil, baik al-Qur’an maupun
hadits, ataupun keterangan ulama yang menjelaskan bahwa memakai kain di bawah
mata kaki dapat membatalkan shalat. Sedangkan hukum menggunakan kain di
bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah hanya makruh dan keharamannya hanya
apabila dengan sikap sombong, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kalaupun
kita berpendapat bahwa isbal tersebut adalah haram (sekali lagi, ini
seandainya), ini juga belum tentu menunjukkan bahwa isbal tersebut dapat
membatalkan shalat. Banyak sekali kasus dalam fiqh Islam dimana perbuatan haram
tidak membatalkan shalat seperti haram berwudhu’ dengan air rampasan, namun
wudhu’nya sah.[29] dan
shalat pada tempat yang dirampas.[30] Hal
ini karena haram tidak identik dengan tidak sah. Bisa saja sesuatu perbuatan
haram, tetapi ia sah. Karena itu, dalam ilmu ushul fiqh ada
pembahasan khusus tentang apakah larangan (haram atau makruh) dapat
menjadikan sesuatu fasid (tidak sah)?Jawabannya sebagai berikut :
Zakariya al-Anshari
mengatakan dalam kitab Ghayat al- Wushul, sebagai berikut :
والأصح ان مطلق
النهى ولو تنزيها للفساد شرعا فى المنهى عنه ان رجع النهى فيما ذكر اليه أو الى
جزئه أو الى لازمه أوجهل مرجعه
Artinya : Menurut pendapat yang lebih shahih mutlaq Nahi (larangan)
meskipun larangan tersebut makruh tanzih merupakan petunjuk kepada fasid (tidak
sah) yang dilarang itu pada syara’, jika larangan itu kembali kepada dirinya (
’ainnya), kembali kepada juzu’nya, atau kembali kepada lazimnya ataupun
tidak diketahui tempat kembalinya.[31]
Penjelasannya sebagai berikut :
Larangan dapat
menjadi petunjuk kepada tidak sah yang dilarang itu apabila memenuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut :
a. Larangan itu kembali kepada diri (’ain) yang dilarang, seperti larangan
shalat dan puasa atas orang yang berhaid. Alasan pelarangannya ini adalah
karena shalat dan puasa disyaratkan suci dari haid. Dengan demikian, alasan
pelarangannya kembali kepada diri shalat dan puasa itu sendiri.
b.
Larangan
itu kembali kepada juzu’ yang dilarang, seperti seperti larangan menjual
buah-buahan yang belum jadi buah, masih dalam bentuk bunga melekat di
batangnya. Alasan larangan ini karena belum ada benda yang dijual (salah satu
rukun jual beli, yakni juzu’ akad jual beli)
c.
Larangan itu
kembali kepada lazim dari yang dilarang (sesuatu dimana yang dilarang itu tidak
dapat lepas darinya), seperti larangan menjual satu dirham dengan harga dua
dirham. Alasan pelarangannya karena tambahan yang lazim dengan sebab
disyaratkan pada akad. Dan seperti shalat pada waktu makruh, dimana larangannya
adalah karena waktu fasid yang lazim bagi shalat dengan mengerjakannya dalam
waktu tersebut. Ini berbeda dengan mengerjakan shalat pada tempat makruh
seperti kamar mandi, maka tidak menjadikan shalatnya tidak sah, karena tempat
makruh tidak lazim bagi shalat dengan sebab mengerjakannya pada tempat itu. Hal
ini dikarenakan dimungkinkan kamar mandi itu dirobah menjadi bentuk lain
seperti mesjid.
d.
Apabila tidak
diketahui tempat kembalinya, maka larangan ini juga dapat menyebabkan tidak sah
yang dilarang itu.
Adapun larangan yang
tidak termasuk dalam kriteria tersebut di atas, maka tidak dapat mengakibatkan
batal yang dilarang itu, contohnya antara lain :
a.
Wudhu’ dengan
air rampasan, dimana larangannya karena menghilangkan harta orang lain dengan
sengaja. Wudhu’nya tetap sah, karena larangannya dilihat dari hal diluar wudhu’
dan tidak lazim baginya.
b.
Jual beli pada
waktu azan Jum’at, jual beli tersebut haram, namun akadnya tetap sah. Hal
ini karena alasan larangan jual beli tersebut adalah menghilangkan
kesempatan shalat Jum’at. Sedangkan menghilangkan kesempatan shalat Jum’at
dapat juga terjadi bukan karena jual beli sebagaimana jual beli dapat terjadi
tanpa ada menghilangkan kesempatan shalat Jum’at.
Penjelasan di atas
beserta contoh-contohnya merupakan rangkuman dari kitab Ghayatul Wushul dan
dalam Jam’ul Jawami’ karya al-Subki dan syarahnya karya Jalaluddin al-Mahalli.[32] Jalaluddin
al-Mahalli dalam kitab ushul fiqhnya, Syarah Warqaat menyebut juga kedua contoh
di atas sebagai contoh larangan karena suatu sifat eksternal yang tidak
lazim bagi yang dilarang. Sedikit sebelumnya beliau mengatakan :
”Apabila larangan itu karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi
yang dilarang, maka larangan itu tidak menunjuki kepada
fasid.”[33]
Nah sekarang bagaimana dengan masalah memakai kain yang menutup mata kaki (isbal), seandainya isbal tersebut dilarang, apakah larangan itu dapat mengakibatkan batal shalat apabila dipakai dalam shalat ?
Jawab :
Seandainya kita
berpendapat dilarang shalat dengan memakai isbal, maka memakai isbal tersebut
tidak mengakibatkan tidak sah shalat. Karena larangan shalat dengan memakai
isbal adakalanya karena sombong, kuatir dapat jatuh dalam sombong atau kuatir
kena najis. Ketiga-tiga alasan tersebut tidak termasuk dalam katagori ’ain
shalat, bagian shalat atau sesuatu yang lazim dari shalat, ataupun sesuatu yang
tidak diketahui tempat kembali larangannya, tetapi merupakan suatu sifat
eksternal yang berada diluar shalat yang tidak lazim bagi shalat atau
dalam istilah ushul disebut :
لآمر خارج غير
لازم له
Disebut tidak lazim bagi
shalat, karena sifat sombong, kuatir jatuh dalam sombong dan kuatir kena najis
dapat berwujud tanpa shalat dan juga sebaliknya, shalat dapat berwujud tanpa
ada sifat-sifat tersebut.
Dengan demikian, larangan
shalat dengan isbal tidak mengakibatkan tidak sah shalat, sebagaimana tidak
mengakibatkan tidak sah wudhu’ dengan air rampasan dengan sebab dilarangnya dan
tidak mengakibatkan tidak sah jual beli pada waktu azan Jum’at dengan sebab
dilarangnya.
Ada yang mengatakan,
batal shalat apabila seseorang menggunakan kain yang dapat menutup mata kaki
(isbal) dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah,
beliau berkata :
بَيْنَمَا
رَجُلٌ يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ
قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ
رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنَّ يَتَوَضَّأَ
فَقَالَ إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ
تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
Artinya :
Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain
sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata
: “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang
kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka
dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang
sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’ ? maka
Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain
sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima shalat
seseorang yang ujung kain sarungnya menutup mata kaki (isbal)(H.R. Abu Daud)[34]
Bantahan
1. Hadits ini dalam kitab Riyadh
al- Shalihin berbunyi :
بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ
إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ.
فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ
فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ
أَمَرْتَهُ أَنَّ يَتَوَضَّأَ ثم سكت عنه ؟ َقَالَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى
وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ
Artinya :
Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain
sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata
: “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang
kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka
dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang
sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’,
kemudian engkau diam?, maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu
melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki,
sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup
mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud)[35]
Imam al-Nawawi mengatakan
dalam Riyadhusshalihin, hadits ini diriwayat oleh Abu Daud atas syarat Muslim.[36] Namun
al-Manawi, setelah menyebut perkataan Imam al-Nawawi di atas, memengatakan :
”Tetapi al-Munziry telah menganggap cacat hadits ini. Beliau mengatakan,
dalam sanadnya ada Abu Ja’far seorang penduduk Madinah yang tidak dikenal.”[37]
2. Seandainya
kita mengatakan bahwa hadits ini merupakan hadits shahih, maka hadits ini harus
dipahami dalam konteks sombong dan takabur sebagaimana sudah dijelaskan dalam
pembahasan hukum isbal di atas berikut dalil-dalilnya, karena hadits ini datang
dalam lafazh mutlaq. Karena itu, harus di pahami secara muqayyad sehingga tidak
bertentangan dengan hadits-hadits muqayyad yang sudah disebut sebelum ini
sebagaimana penjelasan para ulama yang telah disebutkan.
3. Berdasarkan
hadits ini tidak dapat dipahami bahwa shalat bisa batal karena menggunakan
isbal. Hal ini karena sebagai berikut :
a.
Rasulullah saw
memerintah mengulangi berwudhu’ dalam hadits ini, bisa jadi untuk menghapuskan
dosanya, karena dia telah melakukan isbal yang diharamkan yaitu isbal dengan
sikap sombong, sesuai dengan hadits hasan secara marfu’, berbunyi :
لا يسبغ عبد
الوضوء إلا غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر
Artinya :
Seorang hamba tidak akan menyempurnakan wudu’nya kecuali diampunkan dosanya
yang telah lalu dan yang akan datang.
Rasulullah saw
tidak memerintah mengulangi shalat, karena shalatnya sah, tetapi tidak diterima
sebagaimana lanjutan haditsnya : ” Sesungguhnya Allah tidak menerima
shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal).”
Dan bisa jadi
Rasulullah saw memerintah mengulangi berwudhu’ karena ada sebagian angota
wudhu’ yang tidak sah wudhu’nya dan tidak memerintah mengulangi shalat, karena
shalat itu adalah shalat sunnat. Penjelasan dengan dua kemungkinan ini telah
dikemukakan oleh Ibnu ’Alan, seorang ahli hadits terkemuka dari kalangan
Syafi’iyah dalam kitab beliau, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin.[38]
Berdasarkan
keterangan ini, maka dari hadits ini tidak dapat dipahami bahwa isbal dapat
membatalkan shalat.
b.
Adapun sabda
Rasulullah saw, tidak diterima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata
kaki (isbal), pengertiannya adalah tidak dapat pahala atas shalatnya,
sebagaimana sudah dijelaskan oleh al-Manawi dalam kitabnya dalam mengomentari
hadits ini, beliau mengatakan :
”Tidak dapat
pahala seorang laki-laki atas shalatnya yang menurunkan ujung kain sarungnya
menutup mata kakinya karena sombong.”[39]
Ibnu’Alan mengatakan :
”Maksud sabda Rasulullah SAW, ”la yaqbal” adalah tidak dapat menghapuskan
dosanya dan tidak suci hatinya dari dosa, meskipun gugur tuntutan karenanya.”[40]
4. Tidak
diterima shalat pada sabda Rasulullah SAW riwayat Abu Daud di atas, yaitu :
وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ
مُسْبِلٍ
Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup
mata kaki (isbal)
ini tidak berarti menunjukkan kepada batal shalat, bahkan ada
sebagian ulama yang mengatakan tidak diterima ibadah menjadi pentunjuk kepada
sah ibadah itu sendiri, karena suatu ibadah yang tidak sah, sama dengan tidak
ada sama sekali, maka bagaimana dapat dikatakan ibadah itu diterima atau tidak
diterima. Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan, “nafi qabul” (tidak
diterima), apakah itu membatalkan suatu ibadah atau tidak, tanpa ada tarjihnya.
Sebagian ulama mengatakan nafi qabul sesuatu menjadi petunjuk kepada sah
sesuatu, karena dhahir nafi kepada tidak ada pahala, bukan kepada tidak
diperhitungkannya. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan menjadi petunjuk
kepada fasid, dengan alasan dhahir nafi kepada tidak diperhitungkannya dan
karena qabul dan sah saling melazimkan. Perbedaan pendapat ini telah disebut
oleh Zakariya al-Anshari dalam kitab ushul fiqhnya, Ghayatul Wushul dan
al-Subki dalam Jam’ul Jawami’ tanpa ada tarjih salah satunya. Al-‘Alamah
al-Barmawi mengatakan :
“Dua
pendapat ini setara, tidak ada tarjih antara keduanya, karena pada satu kali,
nafi qabul datang pada syara’ dengan makna nafi sah dan pada kali lain dengan
makna nafi qabul serta wujud sah. Tidak ada tarjih ini juga dapat dipahami dari
kalam Ibnu Daqiq al-‘Id.”[41]
Berikut ini tiga buah contoh nafi qabul bermakna
tidak diterima serta sah yang disebut Syeikh Hasan al-‘Ithar dalam Hasyiah ‘ala
Jam’ul Jawami’,[42] yaitu
:
a. Sabda Nabi saw :
مَنْ أَتَى
عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ فصدقه لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ
يوما
Artinya :
Barangsiapa yang mendatangi peramal dan menanyakan tentang sesuatu, maka tidak
diterima shalatnya selama empat puluh malam.(H.R. Muslim)
b. Sabda Nabi SAW :
إِذَا أَبَقَ
الْعَبْدُ من مواليه لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ حتى يرجع اليهم
Artinya
: ِِِApabila seorang hamba sahaya lari
dari tuannya, maka tidak diterima shalatnya sehingga dia kembali kembali kepada
tuannya.(H.R. Muslim)
c. Sabda Nabi SAW :
من شرب خمرا
فسكر لم تقبل له صلاة أربعين صباحا
Artinya :
Barangsiapa yang minum khamar dan dia mabuk karenanya, maka tidak diterima
shalatnya selama empat puluh hari.(H.R. Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Adapun contoh nafi
qabul bermakna tidak sah antara lain yang disebut oleh Zakariya
al-Anshari dalam Ghayatul Wushul, [43]yakni
:
لايقبل الله
صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضأ
Artinya :
Tidak diterima oleh Allah shalat salah seorang kamu apabila berhadats sehingga
dia berwudhu’(H.R. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan uraian di atas, apabila ada nash syara’, baik al-Kitab
maupun al-Sunnah yang mengandung nafi qabul (tidak
diterima), maka tidak bisa secara serta merta dipahami sebagai tidak sah,
tetapi untuk menentukan bahwa sesuatu itu tidak sah harus ada dalil lain yang
menjelaskannya. Berdasarkan ini pula, maka dapat dipahami kenapa para ulama
seperti al-Manawi dan Ibnu ‘Allan di atas menafsirkan nafi qabul shalat pada
hadits tentang orang yang memakai isbal dengan makna tidak mendapat pahala dan
tidak mengampuni dosanya, bukan dalam arti tidak sah.
Kesimpulan
1. Menjulurkan ujung kain yang
dapat menutup mata kaki (isbal) dalam shalat tidak dapat membatalkan shalat
sebagaimana dipahami oleh ulama bermazhab Syafi’i selama ini.
2. Nafi qabul shalat
(tidak diterima shalat) tidak dapat secara serta merta menjadi petunjuk sebagai
tidak sah shalat itu.
Daftar Pustaka
Al-Anshari, Zakariya
. Ghayatul Wushul, (Semarang :Usaha Keluarga, t.th)
Al-Bukhârî, Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’îl. Sahîh al-Bukhâri, cet. Ke-1 (Beirut:Dar Ibn Katsir, 2002)
Al-Damyathi, Al-Bakri. I’anah
al-Thalibin, (Semarang:Thaha Putra, t.th), Juz. I
Al-‘Ithar, Hasan.
Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut
Al-Jaziri, Ibn
Atsir. Al-Nihayah fi Gharib al-Hadis (Riyadh:al-Maktabah al-Islamiyyah,
t.t)
Al-Khin, Mustafa
dan Mustafa al-Bugha, Nuzhat al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin (Beirut:Muassisah
al-Risalah, 1987)
Al-Mahalli, Jalaluddin . Syarah Warqaat, Raja Murah,
Pekalongan,
Al-Minawi, Faidh
al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II.
al-Qaradhawi, Yusuf.
Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (USA:al-Ma’had al-Islami li
al-Fikr, t.t)
Al- Shan’ani, Subulus Salam, (Mekah:Maktabah Mushtafa Al Baabi
Al Halabi, 1960M-1379H)
Al-Subki dan
al-Mahalli, Jam’ul Jawami’ dan Syarahnya, dicetak pada hasyiah
al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. I
Al ‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarhul
Mumti’, Cet. 1, (Riyadh: Dar Ibnu Al Jauzi ,1422-1428H.)
Al-Zarqani, Syarh ala al-Muwatta (Beirut:Dar ak-Kutub al-Ilmiyyah)
‘Ali Jumu’ah, al-Bayan
al-Qawim (Kairo: t.p, t.t.)
A.J.
Wensick, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li alfâdz Hadîts Nabawî (Leiden:Beirel, 1969),
Al-Manawi, Faidh
al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II
Ibnu
‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin, Maktabah
Syamilah, Juz. VI.
Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4
Ibnu Qudamah, Al Mughni Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu
fi Ash Shalah,(Beirut:Dar al-Kutub al-Arabi, t.th)
Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah,
(Riyadh: Darul ‘Ashimah, 1998 )
Salman, Masyhur
Hasan. Akhthaul Mushallin, penerjemah:Abu Ihsan (Jakarta:Pustaka
Imam al-Syafi’I, 2012)
Zaghlul, Abu
Hajir Muhammad. Mausu’at al-Athraf (Beirut:Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t)
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,19855-lang,id-c,syariah-t,Haji+Amanat-p,3-.phpx
[1] ‘Ali Jumu’ah, al-Bayan al-Qawim(Kairo:
t.p, t.t.), h. 104
[2] Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’îl Al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhâri,
cet. Ke-1 (Beirut:Dar Ibn Katsir, 2002),
h.1465, kitab al-libas, bab ma alfala min al-Ka’bait fawuwa fi al-Nar,
hadis ke-5787
[3] أخبرنا
محمود بن غيلان قال حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة قال أخبرني سعيد المقبري وقد
كان يخبر عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ما أسفل من الكعبين من
الإزار ففي النار. (حديث الصحيح عند الالباني)
Dalam riwayat
al-Nasai yang lain melalui jalur Ismail Ibn Mas’ud melalui Khalid dari Hisyam
dari Yahya dari Muhammad Ibn Ibrahim dari Abu Ya’qub terdapat perbedaan awal matan, yaitu lafadz ما
تحت الكعبين
Hadis dengan
jalur ini dinilai sahih menurut Albani.
[4] Abu Hajir
Muhammad Zaghlul, Mausu’at al-Athraf (Beirut:Dar Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.t), juz 9, halaman 32. Lafafz hadis dalam riwayat Ahmad Ibn Hanbal. :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ:
سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيَّ، يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّار. (إسناده صحيح على شرط الشيخين)
[5] Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’îl Al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhâri,
cet. Ke-1, h.1465, kitab al-libas,
bab man jarra tsaubah min al-Khuyala’,
hadis ke-5788
[6] Abu Hajir Muhammad Zaghlul, Mausu’at
al-Athraf , juz 7, halaman 474.
[7] Abu Hajir Muhammad Zaghlul, Mausu’at
al-Athraf , juz 7, halaman 476.
[8] A.J. Wensick,
Al-Mu’jam Al-Mufahras Li
alfâdz Hadîts Nabawî , Juz 2, halaman 404
[9] A.J. Wensick,
Al-Mu’jam Al-Mufahras Li
alfâdz Hadîts Nabawî , Juz 2, halaman 404.
[10] A.J. Wensick,
Al-Mu’jam Al-Mufahras Li
alfâdz Hadîts Nabawî (Leiden:Beirel, 1969), Juz 2, halaman 105
[13] Ibn Atsir al-Jaziri, Al-Nihayah fi Gharib
al-Hadis juz 1, h. 136
[14] Mustafa al-khin dan Mustafa al-Bugha, Nuzhat
al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin (Beirut:Muassisah al-Risalah, 1987),
h.632
[15] Mustafa al-khin dan Mustafa al-Bugha, Nuzhat
al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin, h.634
[16] Al-Minawi, Faidh al-Qadir,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
[18] Ibnu Muflih, Al
Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226.
[19] Ibnu Muflih, Al
Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226.
[20] Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, (Riyadh: Darul ‘Ashimah, 1998 ), Hal. 361.
Cet. 1
[21]
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,19855-lang,id-c,syariah-t,Haji+Amanat-p,3-.phpx
[22] Al- Shan’ani, Subulus
Salam, (Mekah:Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi, 1960M-1379H), Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4
[23] Ibnu Qudamah, Al
Mughni, Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah,(Beirut:Dar
al-Kutub al-Arabi, t.th) Juz. 3, Hal. 21
[25] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal ma’a
al-Sunnah al-Nabawiyyah (USA:al-Ma’had al-Islami li al-Fikr, t.t) h. 111
[27] Pernyataan Abdul Aziz Ibn Baz lihat Masyhur
Hasan Salman, Akhthaul Mushallin, penerjemah:Abu Ihsan (Jakarta:Pustaka
Imam al-Syafi’I, 2012), 41-42.
[28] Masyhur Hasan Salman, Akhthaul Mushallin,
penerjemah:Abu Ihsan (Jakarta:Pustaka Imam al-Syafi’I, 2012), 43-44
[29] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah
al-Thalibin, (Semarang:Thaha Putra, t.th), Juz. I, Hal. 43
[30] Zakariya al-Anshari, Ghayatul
Wushul, (Semarang :Usaha Keluarga, t.th), Hal. 30
[31]
Zakariya al-Anshari, Ghayatul
Wushul, Hal.68
[32]
Al-Subki dan al-Mahalli,
Jam’ul Jawami’ dan Syarahnya, dicetak pada hasyiah al-Banany ‘ala
Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal.
393-395
[33]
Jalaluddin
al-Mahalli, Syarah Warqaat, Raja Murah, Pekalongan, Hal.
10-11
[34]
Abu Daud, Sunan Abu
Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 243, No. Hadits : 63
[35]
Al-Nawawi, Riyadhushshalihin, Darun
Ibnu Jauzi, Saudi Arabiya, Hal. 323
[36]
Al-Nawawi, Riyadhushshalihin, Darun
Ibnu Jauzi, Saudi Arabiya, Hal. 323
[37]
Al-Manawi, Faidh
al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
[39]
Al-Manawi, Faidh
al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
[41]
Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah
al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. I, Hal. 505
[42]
Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah
al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. I, Hal. 504-505
[43]
Zakariya al-Anshari, Ghayatul
Wushul, Hal. 69